Nationalgeographic.co.id—Salahuddin Al Ayyubi atau dikenal dengan Saladin adalah pemimpin Muslim, sultan Mesir dan panglima perang termahsyur dalam sejarah Perang Salib. Salahuddin tidak hanya pemimpin besar umat Islam, bahkan ia menjadi teladan bagi Kesatriaan Eropa dan dipuja penulis Kristen.
Ia mengalahkan Tentara Salib pada pertempuran Hattin dan kemudian merebut tanah suci Yerusalem pada tahun 1187. Salahuddin menghancurkan negara-negara Timur Latin di Levant dan berhasil memukul mundur Perang Salib Ketiga (1187-1192).
Salahuddin mencapai kesuksesannya dengan menyatukan Peradaban Islam di Timur Dekat dari Mesir hingga Arab melalui perpaduan peperangan, diplomasi, dan janji perang suci.
Keahlian Salahuddin dalam peperangan dan politik, serta kualitas pribadinya yang murah hati dan kesatria, membuat dia dipuja banyak orang. Bahkan oleh para penulis Kristen sekalipun.
Sehingga ia menjadi salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah Perang Salib, di Abad Pertengahan dan menjadi subjek sastra yang tak terhitung jumlahnya sejak kematiannya di taman favoritnya di Damaskus pada tahun 1193.
Perjuangan Awal
Saladin atau Salahuddin Al Ayyubi bernama lengkap al-Malik al-Nasir Salah al-Dunya wa'l-Din Abu'l Muzaffar Yusuf Ibn Ayyub Ibn Shadi al-Kurdi. Ia adalah putra Ayub, seorang tentara bayaran Kurdi yang terlantar, lahir pada tahun 1137 di kastil Takrit di utara Bagdad.
Saladin kemudian naik pangkat di militer di mana ia mendapatkan reputasi sebagai penunggang kuda yang terampil dan pemain polo yang berbakat.
Dia mengikuti pamannya Shirkuh dalam pertempuran yang menaklukkan Mesir pada tahun 1169. Saladin kemudian mengambil alih jabatan gubernur Mesir dari kerabatnya untuk Nur ad-Din, gubernur independen Aleppo dan Edessa (memerintah 1146-1174).
Sejarawan J. Phillips memberikan gambaran singkat tentang Shalahuddin muda sebagai berikut:
Ketika Nur ad-Din meninggal pada bulan Mei 1174, koalisi negara-negara Muslimnya terpecah ketika penerusnya berjuang untuk mendapatkan supremasi. Salahuddin mengklaim bahwa dialah pewaris sejati dan mengambil alih Mesir.
Menyatukan Peradaban Islam
Salahuddin yang sekarang menjadi Sultan Mesir, mengulangi prestasi Nur ad-Din di Suriah ketika ia merebut Damaskus pada tahun 1174.
Saladin mengklaim sebagai pelindung Ortodoksi Sunni. Ia kemudian menggulingkan khalifah Syiah di Kairo dan organisasi negaranya berdasarkan hukum Islam yang ketat. Tindakan tersebut memperkuat klaim Salahuddin tersebut.
Salahuddin kemudian mulai menyatukan peradaban Islam atau setidaknya membentuk suatu bentuk koalisi yang kuat. Itu merupakan tugas yang tidak mudah, mengingat banyaknya negara Islam di Timur Tengah, penguasa independen dan perbedaan keyakinan antara muslim Sunni dan Syiah.
Strategi Salahuddin Al Ayyubi merupakan gabungan antara peperangan dan diplomasi yang dipadukan dengan gagasan. Gagasannya adalah, bahwa hanya dia yang bisa melancarkan perang suci melawan pemukim Kristen di Timur Tengah yang telah membentuk negara-negara Latin seperti Kerajaan Yerusalem.
Namun, pertama-tama, pemimpin militer tersebut tidak memiliki keraguan untuk melancarkan perang terhadap musuh-musuh Muslimnya. Pada tahun 1175, misalnya, pasukan saingannya di Aleppo dikalahkan olehnya di Hama.
Supremasi Salahuddin di antara para pemimpin Muslim diperkuat ketika khalifah Bagdad, pemimpin agama Sunni, secara resmi mengakui dia sebagai gubernur Mesir, Suriah dan Yaman.
Sayangnya, Aleppo tetap merdeka dan, diperintah oleh putra Nur ad-Din, menjadi duri serius dalam sisi diplomatik Saladin.
Ada risiko pribadi yang lebih besar juga, karena Sultan Mesir dua kali selamat dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Assassin, sebuah sekte Syiah yang kuat.
Saladin segera merespons dengan menyerang benteng yang dikuasai Assassin di Masyaf di Suriah dan menjarah daerah sekitarnya.
Sementara itu, jalur diplomasi juga ditempuh, terutama dengan menikahi janda Nur ad-Din, Ismat, yang juga putri mendiang penguasa Damaskus, Unur.
Oleh karena itu, Saladin dengan mudah mengasosiasikan dirinya dengan dua dinasti yang berkuasa sekaligus.
Dalam perjalanannya terdapat kemunduran seperti kekalahan dari kaum Frank, sebutan bagi para pemukim barat, terutama di Mont Gisard pada tahun 1177.
Niat Saladin untuk sepenuhnya mengusir orang-orang Barat dari Timur Tengah dapat dibuktikan. Itu tergambarkan dari kemenangan pada tahun 1179 di Marj Ayyun dan penaklukan benteng besar di Sungai Yordan.
Yang juga membantu Saladin adalah reputasinya yang semakin meningkat dalam hal keadilan dan kemurahan hati. Citra Saladin yang dipupuk dengan hati-hati sebagai pembela Islam melawan agama-agama saingannya, terutama Kristen.
Posisi Saladin semakin diperkuat pada bulan Mei 1183 ketika ia merebut Aleppo dan dengan bijaksana membangun armada angkatan laut Mesir yang sangat bermanfaat dalam sejarah Perang Salib.
Pada tahun 1185 Saladin menguasai Mosul dan sebuah perjanjian ditandatangani dengan Kekaisaran Bizantium melawan musuh bersama mereka, Seljuk.
Dia sekarang dapat bergerak ke negara-negara Latin dengan aman karena mengetahui bahwa perbatasannya sendiri aman.
Ketika perhatian kaum Frank terhadap konflik suksesi dan isu siapa yang memerintah Kerajaan Yerusalem, kini saatnya Salahuddin melancarkan serangan.
Pada bulan April 1187 kastil Kerak milik kaum Frank diserang, pasukan yang dipimpin oleh putra Saladin, al-Afdal, bergerak menuju Acre.
Sementara Saladin sendiri mengumpulkan pasukan besar yang terdiri dari pasukan dari Mesir, Suriah, Aleppo dan Jazira (Irak utara).
Kaum Frank mengumpulkan pasukan mereka sebagai tanggapan dan kedua pasukan bertemu di Hattin. Kaum Frank dalam perjalanan ke Tiberias untuk meringankan pengepungan Salahuddin yang nantinya akan dimenangkan dengan gemilang oleh Salahuddin.
Salahuddin Al Ayyubi meninggalkan warisan abadi ketika ia mendirikan dinasti Ayyubiyah yang memerintah hingga tahun 1250 di Mesir dan tahun 1260 di Suriah, yang keduanya digulingkan oleh Mamluk.
Shalahuddin juga meninggalkan warisan di bidang sastra, baik dalam Islam maupun Kristen. Karena begitu mahsyur, bahkan Salahudin menjadi teladan kesatriaan dalam sastra Eropa abad ke-13.
Banyak yang telah ditulis tentang Salahuddin selama masa hidupnya dan setelahnya. Apresiasi terhadap diplomasi dan keterampilan kepemimpinannya dapat ditemukan baik dalam sumber-sumber Muslim maupun Kristen kontemporer.
Hal itu menunjukkan bahwa Salahuddin memang layak untuk posisinya sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah Islam, sejarah Perang Salib dan pemimpin besar abad pertengahan.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR