Nationalgeographic.co.id—Pemanah berkuda adalah prajurit kavaleri bersenjatakan busur dengan keahlian memanah sambil menunggang kuda. Pasukan ini menjadi momok menakutkan bagi musuh pada medan peperangan zaman klasik hingga abad pertengahan.
Maraknya penggunaan pasukan ini bukan tanpa alasan, namun kombinasi kuda dan pemanah memang telah terbukti sangat efektif.
“Kecepatan dan mobilitas kuda, dikombinasikan dengan jangkauan dan daya tembak pemanah, memenangkan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya di medan perang,” kata Robert Holmes, seorang sejarawan asal Florida, yang fokus dengan sejarah Klasik dan Abad Pertengahan.
Melalui pernyataan Robert, ini berarti bahwa selama berabad-abad, pemanah kuda adalah kekuatan tempur yang paling ditakuti dan efektif di dunia Kuno dan Abad Pertengahan.
Asal-usul Pemanah Kuda
Pemanah kuda diyakini telah berkembang di dataran Eurasia yang luas saat Zaman Perunggu berganti menjadi Zaman Besi. Gaya hidup nomaden masyarakat yang tinggal di wilayah ini mendukung perkembangan pemanah berkuda.
“Keterampilan berkuda yang luar biasa diperlukan untuk berburu dan menggembala, dan selalu ada ancaman serangan dari komunitas tetangga,” kata Robert.
Kondisi sama inilah yang lebih dari satu milenium sebelumnya, telah memunculkan kereta kuda. Namun, menurut Robert, “ketika kuda dikembangbiakkan menjadi lebih besar dan teknologi pembuatan busur meningkat, biaya kereta perang menjadi lebih mahal daripada kegunaannya.”
Pemanah kuda lebih murah, lebih cepat, mudah bergerak, dan dapat digunakan dalam jumlah yang lebih banyak daripada kereta perang.
Sekitar abad ke-9 SM, pemanah kuda muncul dalam Kekaisaran Neo-Assyria, di Eurasia. Pada masa ini, bangsa Skit yang hidup berpindah-pindah mulai menunjukkan eksistensinya.
Mereka memiliki posisi yang tidak menguntungkan, mulai dari padang rumput yang miskin hingga kualitas dan kuantitas senjata yang buruk dibandingkan tetangganya.
Kendati demikian, pemanah berkuda mengubah keadaan mereka. Pasukan pemanah kuda dapat bergerak lebih jauh dan lebih cepat, secara efektif melipatgandakan kekuatan orang-orang nomaden ini.
Dengan demikian, Robert mengatakan, “pemanah kuda Scythian membuat seluruh kekaisaran gemetar dan mungkin menjadi inspirasi bagi mitos centaur.”
Taktik Pemanah Berkuda Zaman Kuno dan Abad Pertengahan
Dalam pertempuran, pemanah kuda umumnya bertempur sebagai petarung ringan. Tujuan mereka adalah untuk menguras tenaga dan melemahkan lawan.
Mereka mengandalkan taktik tabrak lari untuk menyebabkan kekacauan dan kebingungan. Hal ini akan memancing musuh keluar dari formasi sehingga mereka dapat dikepung dan dihancurkan.
Robert menjelaskan, taktik ini berasal dari jenis gerakan yang sama yang digunakan untuk berburu dan menggiring hewan di padang rumput.
“Taktik ini memungkinkan pemanah kuda memanfaatkan kecepatan dan mobilitas mereka yang lebih besar, sementara juga tidak melakukan serangan langsung dengan musuh,” kata Robert.
Pemanah kuda kuno dan Abad Pertengahan sering bertempur bersama dengan unit yang bersenjata lengkap dan lapis baja, seperti katafrak–jenis kavaleri berat berzirah. Setelah pemanah kuda cukup melemahkan musuh, pasukan berat inilah yang akan memberikan pukulan terakhir.
Pertempuran Pemanah Kuda Zaman Kuno dan Abad Pertengahan
Mungkin pertempuran pemanah kuda terbesar di zaman kuno adalah pertempuran Carrhae. Pertempuran ini terjadi pada tahun 53 SM, diperjuangkan oleh Romawi di bawah Crassus dan Parthia di bawah Surena.
40.000 tentara Romawi berbaris ke medan pertempuran dan dipancing ke medan gurun yang datar oleh 10.000 tentara Parthia di bawah pimpinan Surena. Serangan terus menerus oleh pemanah kuda Parthia secara bertahap melemahkan pasukan Romawi.
Ketika pertempuran berakhir, sekitar 20.000 orang Romawi, termasuk Crassus, telah terbunuh, dan 10.000 lainnya ditawan. Kerugian Parthia sangat minim.
Selama periode Abad Pertengahan, ada lebih banyak contoh pertempuran pemanah kuda. Bagi Robert, Pertempuran Manzikert tahun 1071 M adalah contoh yang sangat baik.
“Di sini, 40.000 tentara di bawah Kaisar Bizantium Romanos IV berhadapan dengan pasukan Sultan Seljuk Alp Arslan yang berjumlah 30-50.000 orang,” kata Robert.
Ketika tentara Bizantium maju, Seljuk mundur sementara para pemanah kuda Seljuk terus menghujani mereka dengan anak panah. Hal ini membuat pasukan Bizantium kewalahan.
Menjelang malam, Romanos memerintahkan penarikan mundur untuk mengatur kembali pasukannya. Pada saat itulah Seljuk menyerang.
“Sebagian besar pasukan Bizantium segera melarikan diri, meskipun yang lain melawan dengan gagah berani,” kata Robert. “Namun, pada akhirnya, pasukan Bizantium berhasil dikalahkan, dan Romanos sendiri ditangkap.”
Puncak Kejayaan Pemanah Berkuda
Titik puncak dominasi pasukan pemanah berkuda di medan perang terjadi pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi. Ini terjadi ketika Mongol menciptakan kekaisaran terbesarnya.
Para pemanah kuda Mongol meraih kemenangan dalam pertempuran yang membentang dari Jepang hingga Eropa Tengah. Secara harfiah, mereka bertempur melintasi benua Eurasia.
Mereka bertempur dengan cara dan senjata yang tidak asing bagi bangsa Seljuk dan Parthia. Sebaliknya, kehebatan organisasi, disiplin, dan keterampilan para pemimpin merekalah yang membuat pemanah kuda Mongol begitu tangguh.
Dalam pengamatan Robert, jarang sekali pemanah berkuda Mongol dikalahkan dalam medan pertempuran. Mereka hanya kalah ketika bertarung dengan pasukan berkuda mereka sendiri.
“Yang menyebabkan keruntuhan mereka adalah perang saudara karena berbagai panglima perang Mongol saling berperang satu sama lain,” kata Robert.
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR