Nationalgeographic.co.id—Hagia Sophia adalah bangunan terpenting di Kekaisaran Bizantium, yang bahkan terus dihormati hingga saat ini. Hagia Sophia dirancang oleh Kekaisaran Bizantium untuk menjadi basilika untuk Kristen Ortodoks terbesar di dunia.
Hagia Sophia juga memegang rekor kubah terbesar di dunia hingga Duomo dibangun di Florence pada abad ke-15. Duomo adalah katedral Gereja Katolik terbesar yang berada di Milan, Italia.
Seiring berjalannya waktu, Hagia Sophia menjadi lebih penting. Banyak arsitek berikutnya yang terinspirasi oleh kubah ketika membangun gereja dan masjid di kemudian hari.
Konstruksi Hagia Sophia
Setelah Kerusuhan Nika tahun 532 M yang menghancurkan basilika sebelumnya di Konstantinopel, Kaisar Justinian (memerintah 527-565) berupaya mendirikan basilika terbesar Kristen Ortodoks di Kekaisaran Romawi.
Dia menugaskan dua arsitek, Anthemios dari Tralles dan Isidore dari Miletus untuk menciptakan struktur yang layak untuk ibu kota Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium.
Para arsitek, yang sebagian besar ahli matematika, memanfaatkan konsep arsitektur baru untuk membangun apa yang diinginkan kaisar Bizantium.
Untuk menciptakan ruang interior seluas mungkin, mereka merancang kubah pusat yang sangat besar. Mereka menopangnya menggunakan metode konstruksi revolusioner yang disebut pendentif.
Hagia Sophia menggunakan empat pendentif segitiga. Pendentif ini memfasilitasi berat kubah bulat beralih ke struktur penyangga persegi di bawah tanpa mengganggu ruang internal dengan kolom besar.
Pendentif dalam arsitektur adalah segmen segitiga dari permukaan bola, mengisi sudut atas ruangan untuk membentuk di bagian atas. Bentuk tersebut menjadi penyangga melingkar untuk kubah.
Tantangan untuk menopang kubah di atas ruang persegi atau poligonal yang tertutup menjadi semakin penting bagi para arsitektur di Kekaisaran Bizantium
Dimensi struktur yang masih ada menunjukkan bentuk Hagia Sophia yang hampir persegi. Dengan panjang 269 kaki (81 m), lebar 240 kaki (73 m). Kubah kubah saat ini melayang 180 kaki (55 m) di atas lantai mosaik.
Struktur dan kubah pertama, yang sebagian runtuh pada tahun 557, pertama kali selesai dibangun pada tahun 537.
Kubah kedua, dirancang dengan rusuk struktural dan busur yang lebih besar dari kubah sebelumnya, dirancang oleh keponakan salah satu arsitek asli, Isidore the Younger.
Isidore the Younger dihadapkan pada perbaikan beberapa masalah yang menyebabkan runtuhnya kubah aslinya. Pertama, selama konstruksi awal, para tukang batu secara lalai menggunakan lebih banyak mortar daripada batu bata.
Selain itu, karena terburu-buru menyelesaikan kubah asli, mereka tidak menunggu sampai lapisan mortar mengeras sebelum memasang batu bata tingkat berikutnya. Hal ini menyebabkan masalah struktural yang menjadi lebih buruk karena kubah yang terlalu dangkal.
Ketika lengkungan kubah cukup melingkar, berat dan gaya struktur turun ke pilar penyangga. Namun, lengkungan asli kubah terlalu dangkal, sehingga mendorong ke luar dan memaksa dinding yang sudah lemah untuk cidera.
Untuk mengatasi masalah ini Isidore the Younger meningkatkan ketinggian kubah yang meningkatkan busur dan kedalaman, dan menambahkan 40 tulang rusuk untuk memberikan dukungan.
Namun, sebelum perbaikan ini, ia terpaksa membangun kembali sebagian besar tembok dan semi-kubah asli agar kubah baru tersebut bertahan lebih lama dari yang pertama.
Konstruksi kubah
Sejarah dua generasi arsitek dan dua kubah terpisah ini dikenal melalui penulis Bizantium dan survei arsitektur abad ke-20.
Kemegahan Hagia Sophia tercatat sepanjang abad, seperti yang terlihat dalam deskripsi ini oleh patriark Konstantinopel abad ke-9 bernama Photios:
"Pada abad ke-20, banyak insinyur arsitektur terpesona dengan skala Hagia Sophia dan ingin mengetahui bagaimana bangunan tersebut dirancang, dilaksanakan, dan dibangun."
Robert Van Nice, yang bekerja untuk Dumbarton Oaks, adalah orang Barat pertama yang diberi akses ke Hagia Sophia yang baru disekularisasi pada tahun 1930an. Analisis struktural Van Nice kemudian diterbitkan pada tahun 1960-an.
Kualitas estetika desain geometris adalah hal yang paling menjadi perhatian karya abad ke-20 di Hagia Sophia.
Perpaduan keindahan, harmoni, dan matematika, gambaran obyektif Hagia Sophia mengungkapkan keindahan tertentu dalam desainnya. Hal ini berlaku pada banyak bangunan yang dibangun di Roma kuno dan Konstantinopel Antik Akhir, misalnya.
Seperti yang ditulis Anthony Cutler pada tahun 1950an, “karakteristik penting dan nyata dari arsitektur Bizantium awal adalah hubungan disiplin antara matematika dan mekanika struktural.”
Memang arsitektur Kekaisaran Bizantium meneruskan tradisi Romawi awal, namun para arsitek Kekaisaran Bizantium juga menambahkan struktur-struktur baru ke dalam repertoar mereka yang sudah tangguh, terutama memperbaiki tembok benteng dan gereja-gereja berkubah.
Misalnya saja desain Hagia Sophia yang memanfaatkan pendentif sebagai pilihan estetika yang menciptakan harmoni dan simetri.
Menurut Cutler, pendentid merupakan solusi geometris terhadap suatu masalah teknik yang sekaligus menciptakan efek estetika.
Interaksi antara geometri dan keindahan menjadi ciri pemahaman Kekaisaran Bizantium dan kejeniusan teknik. Konstukri dan desain kubah Hagia Sophia telah melambangkan sesuatu yang besar dan indah.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR