Nationalgeoraphic.co.id—Suhu laut dalam lebih dingin daripada laut dangkal dan pesisir. Dengan suhunya yang rendah, terumbu karang bisa hidup dan memproduksi oksigen hingga ke atmosfer dengan menyerap karbon.
Seiring dengan perubahan iklim yang terjadi, terumbu karang laut dalam mulai terkena ancaman. Dalam sebuah ekspedisi penelitian, ilmuwan mengungkapkan bahwa terumbu karang yang berada pada kedalaman lebih dari 90 meter mengalami kerusakan atau memutih.
Temuan tersebut diungkapkan oleh ekspedisi ilmuwan saat menyelami laut dalam Samudra Hindia. Dalam makalahnya, para ilmuwan mengungkapkan bahwa hingga 80 persen terumbu karang di beberapa bagian dasar laut dalam, rusak akibat kenaikan suhu laut sebesar 30 persen.
Laporan itu diungkapkan di jurnal Nature Communications pada 16 Oktober 2023, bertajuk "Mesophotic coral bleaching associated with changes in thermocline depth".
Melalui laporannya, para ilmuwan mengamati fenomena unik pada laut dalam saat diamati. Ternyata, meskipun suhu di permukaan laut hampir tidak berubah selama periode tertentu, peningkatan suhu masih berlangsung di bawah permukaan.
Pada kawasan Samudra Hindia khatulistiwa, para peneliti menemukan peningkatan suhu mencapai tujuh derajat celsius.
"Apa yang kami catat secara pasti menunjukkan bahwa pemutihan ini disebabkan oleh pendalaman termoklin. Hal ini setara dengan El Nino di tingkat regional, dan karena perubahan iklim, siklus variabilitas ini menjadi semakin besar," tutur Clara Diaz, peneliti utama studi dari School of Biological and Marine Sciences, University of Plymouth.
"Ke depan, pemutihan di lautan yang lebih dalam di sini dan di tempat lain kemungkinan akan menjadi lebih sering terjadi," lanjutnya di Eurekalert.
Temuan ini menjadi peringatan nyata akan dampak buruk yang ditimbulkan di laut, sebuah dunia yang jarang digali manusia. Keberadaannya yang tersembunyi menandakan bahwa dampak kenaikan suhu laut mungkin masih tersembunyi, dan dipicu akibat perubahan iklim.
“Hasil kami menunjukkan kerentanan ekosistem karang mesofotik terhadap tekanan termal dan memberikan bukti baru tentang dampak perubahan iklim terhadap setiap bagian lautan kita," jelas Nicola Foster, peneliti dan pengajar di School of Biological and Marine Sciences, University of Plymouth yang terlibat dalam studi.
Foster menambahkan, penemuan pemutihan karang laut dalam punya tanda bahaya pada lingkungan dasar laut. Pemutihan ini memungkinkan adanya kematian karang di tempat lainnya yang belum diteliti.
Akan tetapi, yang lebih berbahaya adalah laut dasar yang kompleksitas struktural terumbu karangnya berkurang. "Hal ini kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya jasa ekosistem penting yang diberikan oleh terumbu karang kepada planet kita," lanjutnya.
Pengungkapan kondisi pemutihan terumbu karang laut dalam dilakukan sejak pelayaran penelitian pada November 2019, terang para peneliti. Mereka memantau dengan kendaraan bawah air yang dioperasikan jarak jauh, dilengkapi dengan kamera yang dapat memantau kesehatan terumbu karang.
Penampakan kondisi di bawah laut dikirim langsung ke kapal penelitian yang ada di permukaan. Dengan demikian, tim peneliti kesehatan karang dapat melihat gambaran sekilas. Anda dapat melihat video terumbu karang bawah laut yang direkam oleh para ilmuwan di sini.
Uniknya, dalam pengamatan, kondisi terumbu karang yang berada di perairan dangkal tidak memiliki tanda-tanda kerusakan. Dari sinilah para peneliti meyakini bahwa ada arus air panas atau suhu laut yang lebih panas di laut dalam ketimbang laut dangkal atau pesisir.
Perubahan suhu yang ditemukan, dilakukan dengan ekspedisi berikutnya pada beberapa bulan kemudian. Para peneliti menilai serangkaian data lain yang dikumpulkan, beserta informasi dari satelit untuk memantau kondisi dan suhu laut.
Ekspedisi ke lokasi pun berjalan kembali pada 2020 dan 2022. Mereka menemukan bahwa sebagian besar dari terumbu karang kembali pulih.
Akan tetapi, pemulihan terumbu karang di laut dalam belum berarti kestabilan ekosistem turut pulih. Pasalnya, semakin sering dan meningkatnya kerusakan pada karang perairan dangkal yang terus terjadi, justru akan menutup kesenjangan manfaat bagi ekosistem yang bergantung pada terumbu karang laut dalam sekitar 30 meter hingga 150 meter.
“Oseanografi suatu wilayah dipengaruhi oleh siklus alami yang diperkuat oleh perubahan iklim. Saat ini, kawasan ini mengalami dampak serupa, bahkan lebih buruk, akibat gabungan pengaruh El Nino dan Dipol Samudera Hindia," kata Phil Hosegood, pemimpin penelitian yang merupakan Associate Professor di Physical Oceanography at the University of Plymouth.
"Meskipun kita tidak dapat menghentikan pendalaman termoklin, yang dapat kita lakukan adalah memperluas pemahaman kita tentang dampak perubahan ini terhadap lingkungan yang hanya sedikit kita ketahui. Dalam menghadapi perubahan global yang bergerak cepat, hal ini menjadi sangat mendesak.”
Bagaimanapun, terumbu karang laut dalam masih luput dari perhatian. Pengetahuan tentang keberadaan mereka dan kondisi kesehatannya mungkin punya kabar barik untuk masa depan ekosistem, selama kita bisa mempelajari dan melestarikannya.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | EurekAlert! |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR