Nationalgeographic.co.id—Sebagai kanselir Jerman dari partai Nazi, Adolf Hitler percaya bahwa manusia yang sempurna adalah bangsa Jerman yang disebut sebagai "ras Arya". Dalam kampanyenya selama Perang Dunia II, istilah Arya disebutkan sebagai ras kulit putih dengan ciri-ciri bola mata biru dan berambut pirang.
Dalam kampanye Nazi-nya, konon ras Arya adalah yang paling unggul di antara umat manusia lainnya. Disebutkan bahwa Perang Dunia II ini bertujuan untuk membersihkan umat manusia dari ras non-Arya.
Kampanye ini menimbulkan diskriminasi ras yang meluas terhadap kalangan orang Yahudi dalam sejarah dunia. Namun uniknya, kesepakatan bersekutu membuat Nazi Jerman melunak soal pandangan rasialismenya dengan orang Jepang.
Terlepas dari imbasnya, siapakah sejatinya ras Arya itu? Sebetulnya penamaan ras Arya ini merupakan kesalahpahaman yang meluas di Eropa yang kemudian disalahgunakan dalam ideologi rasialis dalam sejarah dunia.
Ras Arya sebagai bangsa Jerman atau Nordik berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebelumnya, nama Arya lebih merujuk pada penutur bahasa kuno yang menyebar dan memengaruhi bahasa di seluruh India.
Bangsa Arya ke India
Dalam sejarah dunia, masyarakat di India sudah membangun peradaban tingkat tinggi di Lembah Indus. Perkembangan peradaban mereka berlangsung sejak Zaman Perunggu pada 3300 SM dan memuncak pada 2000 SM. Secara kebangsaan, mereka berkulit lebih gelap yang mewariskan beberapa bahasa seperti Tamil, Telugu, dan Kannada.
Perkembangan peradaban ini bangkit bersama dengan peradaban Mesir kuno dan Mesopotamia. Bahkan, diyakini Peradaban Lembah Indus punya keunggulan yang lebih maju dibandingkan Mesir kuno dan Mesopotamia pada masanya dalam hal tertentu.
Sementara itu, bangsa Arya berasal dari penduduk nomaden di Iran prasejarah. Mereka bermigrasi ke India utara sekitar 1.500 SM. Ketika mereka datang ke anak benua India, penduduk yang sudah bermukim di sana menyebut mereka sebagai orang ārya.
Istilah ārya ini ada dalam bahasa Sansekerta yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris sebagai Arya atau bangsa Arya (Aryan). Kata ini sebenarnya serumpun dalam bahasa Persia ērān yang merujuk suatu kawasan, kemudian diadopsi sebagai nama negara yang disebut Iran pada hari ini.
Pegunungan Hindu Kush yang berada di sekitar Afganistan dan Pakistan adalah gerbang masuk bagi bangsa Arya. Mitos populer sejarah dunia mengatakan bahwa bangsa Arya adalah penjajah yang tidak dapat dihentikan dan menghancurkan peradaban Lembah Indus. Mitos ini bahkan dipakai dalam permasalahan rasial di India antara orang "Arya" dan "Dravida" hari ini.
Padahal, sejatinya, Peradaban Lembah Indus yang maju menjadi alasan mengapa bangsa penggembala nomaden bermigrasi dan mengadu nasib. Mereka telah mengunjungi wilayah itu sebelumnya dan hidup berdampingan dalam waktu bertahap.
Peradaban Lembah Indus sendiri mengalami kemunduran bukan karena kedatangan bangsa Arya. Ada berbagai faktor dalam kependudukan mereka, termasuk perubahan lingkungan dan faktor sosial. Kemunduran Peradaban Lembah Indus mengakibatkan beberapa kota ditinggalkan, dan terputusnya hubungan perdagangan dengan peradaban di Timur Tengah.
Alih-alih menjajah, beberapa sejarawan justru berpendapat bahwa bangsa Arya datang justru mengisi kekosongan yang ditinggalkan. Pada wilayah bekas Peradaban Lembah Indus itu, bangsa Arya membawa bahasa, teknik pertanian dan peternakan mereka yang mulai berkembang.
Bangsa Arya dalam catatan sejarah lain
Akan tetapi, pada masa selanjutnya hanya ada sedikit sejarah dunia yang menyebut bangsa Arya di Lembah Indus. Penyebutannya dalam catatan sejarah juga sering meragukan keakuratannya tentang bangsa ini.
Sedikitnya arsip tentang bangsa Arya yang konkret, menyulitkan sejarawan memahami karakteristik mereka dalam sejarah dunia. Bagaimanapun, setidaknya mereka berkembang dari masa ke masa. Oleh sejarawan Yunani Herodotus, bangsa Arya disebutkan sebagai penduduk Media (kawasan di antara Armenia dan Iran) yang mengganti kemudian berganti namanya.
Ada pula dalam agama Zoroaster, 'Arya' disebutkan sebagai salah satu kawasan (Airyana Vaejah) yang berarti "hamparan Arya" sebagai tanah air mitos masyarakat Iran dan pusat dunia. Bahkan, raja-raja Persia seperti Darius dan Xerxes digambarkan sebagai bangsa Arya asli.
Asal ras Arya dalam ideologi Nazi
Dalam keilmuan, bangsa Arya lebih didefinisikan dengan istilah Indo-Iran berdasarkan penuturan bahasanya. Lebih luas lagi, definisi ini meluas untuk merujuk pada bahasa yang dituturkan masyarakat di sekitar Indo-Eropa.
Saat ini, istilah yang lebih tepatnya adalah subkategori rumpun bahasa Proto-Indo-Eropa (PIE). Subkategori bahasa masyarakat ini mencakupi Proto-Celtic, Proto-Baltik-Slavik, Proto-Yunani, dan Proto-Indo-Iran. Bahasa Indo-Arya justru berada dalam Proto-Indo-Iran yang tidak ada berbeda dengan klaim Nazi.
Gagasan tentang Arya yang dipropagandakan oleh Nazi berasal dari teori tentang asal-usul bangsa Eropa kuno. Disebutkan bahwa orang Eropa kuno berasal dari wilayah utara dan suka menaklukkan berbagai kawasan Eurasia. Anggapan ini kemudian mengidentikkan bahwa mereka adalah bangsa Arya.
Namun, teori ini sangat kurang dalam bukti ilmiah dan kurang konkret. Banyak antropolog dan sejarawan modern membantah teori ini. Alih-alih, orang kulit putih, mungkin lebih cocok bila penakluk dari utara mungkin adalah suku-suku Mongol seperti Uighur, Xiongu, atau Hun. Namun, bangsa Mongol tidak terkait dengan rumpun Indo Eropa.
Bagaimanapun, teori sejarah dunia tentang bangsa Eropa kuno adalah bangsa Arya telah tersebar luas, dan kemudian tertanam secara ideologi. Arti kata Arya menjadi luas dan kacau, terutama saat disalahgunakan dalam politik.
Istilah Arya menjadi memiliki arti sebagai ras kulit putih yang dinilai paling unggul oleh masyarakat Eropa. Pasalnya, Arya digadang-gadangkan sebagai ras yang pernah menguasai Eurasia. Dengan demikian oleh masyarakat superioritas kulit putih berpikir bahwa kemampuan mereka sangat mungkin untuk menguasai dunia, dan memurnikan ras.
Padahal, pemahaman Arya ini sebagai bangsa kulit putih berasal dari propaganda ilmiah semu, terutama oleh Nazi. Propaganda ini berkembang untuk mencapai tujuan mereka yang pada akhirnya mengarah pada Holocaust.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR