Nationalgeographic.co.id—Mangrove di pesisir Asia, termasuk di Indonesia, telah banyak ditebangi untuk membuka lahan bagi penggunaan lain seperti budidaya perikanan. Hal itu membuat wilayah pesisir ini jadi lebih rentan terhadap erosi. Tanah di wilayah pesisir jadi terkikis sangat cepat.
Memulihkan hutan mangrove tampaknya merupakan solusi logis untuk membalikkan proses pengikisan ini. Hal ini demi melindungi garis pesisir yang padat penduduknya.
Namun, hal ini memerlukan pemahaman apakah hutan mangrove bisa mengatasi tingkat kenaikan permukaan air laut yang ekstrem, seperti yang terjadi di daerah-daerah yang mengalami penurunan permukaan air laut.
Sejak tahun 2015 Celine van Bijsterveldt, peneliti dari Royal Netherlands Institute for Sea Research (NIOZ), telah mengunjungi Indonesia secara rutin selama masa studi untuk mendapatkan gelar PhD-nya.
“Saya melihat betapa banyak masyarakat yang menderita akibat erosi pesisir dan seringnya banjir,” kata Van Bijsterveldt, seperti dikutip dari keterangan tertulis NIOZ.
“Untuk dapat menjawab apakah hutan mangrove dapat membantu, saya memulai dengan memperoleh pengukuran laju penurunan permukaan tanah yang dapat dipercaya. Ini sangat rumit jika Anda bekerja dari jarak jauh.”
Penurunan permukaan tanah secara lokal menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang relatif tinggi. “Biasanya, mengukur penurunan permukaan tanah memerlukan peralatan rumit yang mahal,” ujar Van Bijsterveldt.
“Karena instrumen tersebut masih kurang di daerah terpencil, kami mengembangkan dua metode baru dan berbiaya rendah untuk memperkirakan kenaikan relatif permukaan air laut. Di hutan mangrove kami mengukur kenaikan permukaan laut dengan alat pengukur tekanan sederhana, yang biasanya digunakan untuk mengukur pasang surut air laut," lanjutnya.
"Dan di desa kami menganalisis seberapa sering masyarakat menaikkan tinggi lantai dan atap rumahnya. Dengan melakukan hal ini, kami menunjukkan bagaimana garis pantai pedesaan sepanjang 20 km dan tepiannya yang bervegetasi, yang berdekatan dengan kota yang mengalami penurunan permukaan air laut dengan cepat, mengalami tingkat kenaikan permukaan air laut yang mengkhawatirkan.”
Yang mengejutkan, desa-desa mengalami kenaikan permukaan air laut yang jauh lebih tinggi dibandingkan hutan mengrove. Hal ini menimbulkan dampak yang sangat besar bagi masyarakat setempat.
Dua cara masyarakat lokal ‘mengatasi’ kenaikan permukaan air laut
“Melalui wawancara, kami mengetahui bahwa masyarakat lokal dapat merespons kenaikan permukaan air laut dengan dua cara: melawan (mencegah air masuk dengan meninggikan rumah) atau melarikan diri (memindahkan daratan lebih jauh ke dalam atau ke tempat lain)” kata Van Bijsterveldt.
Masyarakat pesisir yang rawan banjir rob mungkin tidak selalu bisa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Keterbatasan finansial dan/atau sosial, seperti kepemilikan tanah dan sumber pendapatan (misalnya perikanan) dapat mengikat keluarga-keluarga di pesisir.
Solusi berbasis alam memungkinkan restorasi mangrove
Mangrove memberikan perlindungan pesisir dengan mencegah erosi pesisir dan meredam gelombang yang bergerak ke pantai. Namun perlindungan tersebut hanya akan berhasil jika terdapat cukup hutan mengrove untuk melakukan hal tersebut.
Penelitian Van Bijsterveldt menemukan bahwa hutan mangrove dewasa menunjukkan tingkat toleransi yang sangat tinggi terhadap penurunan permukaan tanah dan mengakibatkan kenaikan permukaan laut yang cepat.
Namun pasokan sedimen yang cukup harus tersedia di sepanjang pesisir. “Sayangnya, hal terakhir ini tidak terjadi di wilayah Semarang,” kata Profesor Helmi dari Universitas Diponegoro.
“Namun temuan ini sangat menjanjikan bagi banyak daerah pedesaan di sepanjang pesisir berlumpur yang mengalami penurunan permukaan air laut dengan cepat, seperti yang kita temukan di Indonesia dan banyak tempat lain di dunia”.
Prospek untuk daerah-daerah dengan penurunan tanah sangat besar
Secara keseluruhan, penelitian ini menyoroti pentingnya mengatasi penurunan permukaan tanah sebagai faktor penting yang mempengaruhi kerentanan pesisir.
Di wilayah yang kenaikan permukaan air laut relatif akibat penurunan permukaan tanah tidak diimbangi dengan pasokan sedimen cukup, kemampuan hutan mangrove untuk menstabilkan garis pesisir akan menurun. Hal ini akan mengakibatkan migrasi hutan mangrove ke daratan secara bertahap. Masyarakat pedesaan tidak mempunyai pilihan selain mundur ke daratan.
Dalam hal ini, penelitian ini menawarkan perspektif masa depan mengenai nasib masyarakat pesisir global akibat percepatan kenaikan permukaan laut global.
“Studi ini memberikan gambaran sekilas tentang masa depan daerah pedesaan miskin di pesisir yang mengalami percepatan kenaikan permukaan air laut akibat penurunan permukaan tanah,” ujar Profesor Helmi.
“Dengan menunjukkan dinamika rumit antara hutan mangrove dan lingkungannya, temuan Van Bijsterveldt berkontribusi dalam mengembangkan strategi efektif untuk memitigasi dampak dari permasalahan mendesak ini.”
Kolaborasi internasional dan interdisipliner
“Sekilas masa depan ini hanya mungkin terjadi berkat kolaborasi internasional dan interdisipliner yang unik,” kata Profesor Tjeerd Bouma dari NIOZ dan Universitas Utrecht.
“Hanya dengan mempertemukan para ahli ekologi, fisikawan pesisir, dan sosiolog dari Indonesia dan Belanda, kita bisa mendapatkan perspektif terpadu mengenai keseluruhan pesisir. Kami juga berterima kasih atas dukungan aktif dari LSM dan perusahaan yang bersedia berinvestasi dalam pengembangan pengetahuan penting untuk menjaga pesisir kita agar tahan terhadap perubahan iklim.”
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR