Nationalgeographic.co.id—Antisemitisme sering identik sebagai sikap memusuhi atau mendiskriminasi orang Yahudi, baik sebagai nama bangsa atau agama. Dalam sejarah dunia, tindakan antisemitisme, diyakini, memuncak pada Perang Dunia II.
Pada saat itu, Nazi Jerman yang fasis, melakukan genosida terhadap bangsa dan pemeluk agama Yahudi. Tindakan ini disebut holocaust, yang memaksa orang Yahudi harus keluar dari kuasa Nazi Jerman agar tidak menjadi korban kejahatan perang. Bahkan, dalam kampanyenya, Nazi mengubah identitas Yesus Kristus bukan berasal dari bangsa Yahudi, melainkan Arya.
Namun sejatinya dalam sejarah dunia, diskriminasi terhadap orang Yahudi di Eropa sudah terjadi jauh sebelum itu. Albert Einstein, ilmuwan fisika abad ke-20, pernah mengalaminya saat masih anak-anak. Ketika dewasa, ia bahkan harus berpindah ke Amerika Serikat karena partai Nazi berkuasa di Jerman.
Di sekolahnya yang bernuansa agama Kristen, seorang guru datang ke kelas dan membawa paku dan berujar bahwa orang Yahudi menyebabkan Yesus Kristus disalib orang Romawi. "Paku inilah yang digunakan untuk menyalib Yesus, seperti ini bentuknya," ujar guru yang diyakini sebagai ujaran antisemitisme.
Sebelum Perang Dunia II, diskriminasi terhadap orang Yahudi sudah ada. Dalam sejarah Eropa, pembantaian orang Yahudi lainnya terjadi pada abad ke-17, di tengah perang antara Ukraina Ortodoks Timur dan Polandia Katolik Roma.
Emansipasi orang Yahudi di Eropa mulai berkembang pada penyatuan Jerman pada 1871. Akan tetapi, emansipasi ini tidak memungkiri komunitas yang memiliki paham kebencian terhadap orang Yahudi.
Walau sudah ada emansipasi bagi bangsa Yahudi di Eropa dalam sejarah dunia, "antisemitisme" masih berlangsung di Prancis. Mereka dianggap sebagai orang "asing" yang ada di kalangan mereka. Ada banyak teori ilmiah semu yang menganggap orang Yahudi lebih rendah terhadap orang Eropa, khususnya "ras Arya", di Eropa.
Emansipasi yang menopang sistem yang lebih inklusif terhadap orang Yahudi, justru membuat rasialisme dan diskriminasi masih berlanjut. Orang Yahudi sering menjadi kambing hitam bagi orang Eropa sebagai isu politik yang ampuh oleh para politisi masa itu.
Istilah "antisemitisme" digagas oleh jurnalis dan penulis Jerman Wilhelm Marr pada abad ke-19. Istilah ini muncul untuk menggambarkan kondisi orang Yahudi di Eropa yang didiskriminasi. Marr sendiri merupakan kalangan yang menolak asimilasi orang Yahudi sebagai orang Jerman.
Pandangan ini dicetus oleh Marr karena liberalisme Jerman mengantarkan orang Yahudi dapat mengelola keuangan dan industri Jerman. Dia memandang, konflik orang Yahudi dan orang Eropa tidak bisa diselesaikan dengan asimilasi, melainkan penghabisan salah satu pihak, dalam hal ini orang Yahudi.
Pada 1879, Marr mendirikan Liga Antisemit untuk "melindungi" orang Jerman dari ancaman yang disebabkan oleh orang Yahudi. Organisasi ini bahkan menyerukan pengusiran mereka dari Jerman. Pandangan "antisemitisme" ini kemudian mengakar sebagai teori ilmiah semu yang menjadi dasar diskriminasi oleh Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
Siapa itu bangsa Semit?
Teori ilmiah semu yang dipopularkan Marr memiliki kekeliruan tentang "semit" sebagai bangsa. Istilah bangsa Semit jauh sudah ada sebelum antisemtisme populer, dalam catatan sejarah dunia untuk merujuk bangsa yang terpisah dari Kaukasia.
"Semit" sebagai istilah yang merujuk identitas digagas oleh August Ludwig, anggota Göttingen School of History pada 1781. Penggunaan "Semit" dipilih untuk merujuk salah satu dari tiga putra Nabi Nuh yang berada dalam Kitab Kejadian Alkitab.
Lebih jelasnya, Semit adalah kelompok bangsa yang menuturkan bahasa serumpun di Timur Tengah hingga Afrika Utara. Bahasa Semit kuno sudah dituturkan sekitar 6.000 tahun silam di Mesopotamia, walau asal-usulnya masih diperdebatkan.
David Testen, penulis buku Parallels in Semitic Linguistics: The Development of Arabic la- and Related Semitic Particles dan pernah menjadi peneliti bahasa di Stanford University mengutarakan, rumpun bahasa Semit umum dituturkan di Timur Tengah. Bahasa dan kebudayaan ini bertahan di Timur Tengah selama 4.000 tahun lamanya, terang Testen di Britannica.
Bahasa Semit memiliki banyak turunan, seperti bahasa Amhara di Etiopia, bahkan bahasa Arab dan Ibrani yang dituturkan oleh orang Arab dan Yahudi. Kelompok bahasa Semit merupakan bagian dari kelompok besar bahasa Afro-Asiatik yang dituturkan sampai ke pedalaman Afrika utara.
Sejarah dunia terkait bahasa dan kebudayaan Semit membaginya dalam beberapa kelompok utama. Ahli linguistik mengelompokkannya karena masing-masing bahasa memiliki kemiripan fonetik, morfoloogi kata, dan akar makna dalam kebudayaan.
Contoh: kalb, ibnu (bisa menjadi bin ketika disisipkan dalam nama dari putra seseorang), dan salaam dalam bahasa Arab, memiliki kemiripan dalam bahasa Ibrani caleb, ben, dan syalom. Masing-masing kata jika diterjemahkan menjadi anjing, anak, dan damai.
Namun, hari ini pengetahuan tentang identitas Semit hari ini menjadi perdebatan, terutama pengaruh paham antisemitisme oleh Marr. Paham ini lebih mengerucut pada sikap anti-Yahudi, tanpa memasukkan istilah yang sama dalam rasialisme untuk penutur bahasa Semit lainnya di negara-negara Barat.
Source | : | britannica,National Geographic Indonesia,De Gruyter,GHDI (German History in Documents and Images),SOAS University of London |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR