Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah dunia, kisah petualangan, kepahlawanan, perang, dan pengkhianatan Lawrence of Arabia (Lawrence dari Arabia) memikat banyak orang. Sebagai arkeolog, perwira militer, diplomat, dan penulis, pria yang bernama T. E. Lawrence ini dianggap memiliki andil dalam Revolusi Arab dari cengkeraman Kekaisaran Ottoman.
Orang Inggris mungkin menganggap Lawrence sebagai pahlawan, sementara orang Arab memandangnya sebagai pengkhianat.
Seperti apa kisah hidupnya yang dikenang dalam sejarah dunia?
Kehidupan awal T.E. Lawrence
Thomas Edward Lawrence, kemudian dikenal sebagai Lawrence of Arabia, lahir pada tahun 1888 di sebuah desa kecil di Wales. Keluarganya pindah ke Oxford pada tahun 1896. Di Oxford, Lawrence menghabiskan masa kecilnya menjelajahi pedesaan. Ia pun mempelajari arsitektur kuno, monumen, dan barang antik.
Tahun 1910, ia dikirim oleh British Museum sebagai arkeolog di Timur Tengah. Lawrence memanfaatkan kesempatan itu dan berangkat ke Lebanon. Di sana, ia menghabiskan beberapa bulan mempelajari bahasa Arab.
Bersama timnya, Lawrence kemudian berangkat untuk menggali reruntuhan di Carchemis dekat perbatasan antara Suriah dan Turki modern. Saat bekerja di sana, ia bertemu Gertrude Bell, juga dari Oxford. Bell kelak menjadi salah satu arkeolog dan pejabat politik paling terkemuka di Inggris.
Lawrence bekerja dengan Bell di berbagai kesempatan sepanjang hidupnya. Meskipun karya Lawrence sebagian besar berkaitan dengan Semenanjung Arab, Bell memberikan pengaruh besar di Irak.
“Kontak pertama Lawrence dengan militer Inggris terjadi pada bulan Januari 1914,” tulis Ilias Luursema di laman The Collector. Saat itu ia diminta untuk memetakan gurun Mesir dengan kedok pekerjaan arkeologi. Dia menyelesaikan misinya dengan sukses dan secara resmi bergabung dengan militier Inggris pada akhir tahun itu.
Lawrence bergabung dengan dinas militer
Pada bulan Oktober 1914, Lawrence mendaftar di Angkatan Darat Inggris. Dia ditugaskan untuk intelijen dan ditugaskan ke Mesir.
Menteri Luar Negeri Urusan Perang Herbert Kitchener mendapat informasi bahwa Kekaisaran Ottoman berpihak pada Jerman dalam perang. Kitchener disarankan untuk mendekati Hussain, Sharif Makkah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan militer melawan Kekaisaran Ottoman. Korespondensi antara pemerintah Inggris dan Hussain menghasilkan kesepakatan. Inggris akan memberikan kemerdekaan kepada Arab jika berada di pihak Inggris dalam melawan Ottoman.
Untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan memfasilitasi pemberontakan Arab melawan Ottoman, dibentuklah Biro Arab. Lawrence termasuk di antara anggota yang dipilih untuk organisasi yang berbasis di Kairo itu.
Pembentukan Biro Arab
Untuk Biro Arab, orang-orang dengan pengalaman luas di Timur Tengah pun dipilih untuk jadi anggotanya.
Pada tanggal 7 Januari 1916, Biro Arab diresmikan sebagai sebuah organisasi dan mulai beroperasi di Hotel Savoy di Kairo. Apa tugas organisasi ini? “Mereka menciptakan propaganda, menyelaraskan aktivitas politik Inggris, dan mengumpulkan informasi intelijen tentang Militer Ottoman,” tambah Luursema.
Yang paling penting, Biro Arab bertanggung jawab memberikan dukungan bagi Pemberontakan Arab, yang dimulai pada bulan Juni 1916. Bantuan logistik, militer, dan keuangan Inggris untuk orang-orang Arab disalurkan melalui Biro Arab. Saat bekerja untuk Biro Arab, Lawrence mengawasi persiapan peta dan membuat laporan untuk jenderal Inggris yang beroperasi di Timur Tengah. Ia pun bertugas untuk mewawancarai tahanan.
Lawrence telah lolos dari pekerjaan garis depan selama 2 tahun pertama dinasnya. Namun, pada musim gugur 1916, dia dikirim ke Arab, di mana dia akan segera melakukan aksi melawan Kekaisaran Ottoman.
Pemberontakan Arab dalam sejarah dunia
Setelah setuju untuk mendukung Inggris melawan Ottoman, Syarif Makkah memulai operasi militer pada musim panas 1916. Hanya sekelompok orang Arab terpilih di bawah pemerintahan Hussein yang setuju untuk memberontak.
Pada bulan-bulan pertama pertempuran, kemajuan mereka terbatas. Ketika Lawrence tiba di Jazirah Arab tahun 1916, sebagian besar kota besar masih berada di bawah kendali Ottoman. Namun, para pemberontak Arab berhasil menguasai Makkah dan wilayah pedalaman Arab tempat mereka melancarkan serangan gerilya.
Lawrence mulai bekerja dengan Faisal, salah satu putra Hussein dan seorang komandan pasukan pemberontak. Bersama-sama mereka menyusun rencana untuk menyerang infrastruktur penting Ottoman. “Termasuk jalur kereta api yang membentang dari Damaskus ke Madinah,” ungkap Luursema.
Mulai bulan Januari 1917, Lawrence berkuda bersama pasukan Arab. Ia bertempur bersama mereka untuk merebut pos-pos terdepan Ottoman dan menghancurkan jalur kereta api dan jembatan. Pemberontakan Arab dilakukan dengan menggunakan operasi tabrak lari. Upaya-upaya ini berhasil melumpuhkan pasukan dan memengaruhi logistik Ottoman.
Merebut Kota Aqaba
Salah satu pencapaian terbesar pemberontakan ini adalah perebutan Kota Aqaba yang penting secara strategis. Hal ini terjadi di bulan Juli 1917. Lawrence bertindak “jahat” dalam operasi ini. Pasalnya, dia tidak memberi tahu komando Inggris tentang rencana yang dibuatnya bersama para pemimpin Arab untuk merebut Aqaba.
Lawrence tidak memberi tahu atasannya karena dia khawatir mereka akan memblokir operasi tersebut. Konon rencana ini dianggap bertentangan dengan kepentingan Prancis. Saat itu, kebijakan Inggris adalah untuk tidak memusuhi sekutu besar mereka di wilayah tersebut.
Aqaba jatuh ke tangan pasukan Arab pada tanggal 6 Juli 1917. Pada titik ini, pemberontak menguasai kota-kota besar di semenanjung Arab. Meskipun demikian, pasukan Arab terdorong untuk terus berjuang. Mereka ingin mengamankan wilayah untuk kerajaan yang merdeka di masa depan. Namun, tanpa sepengetahuan mereka, Inggris rupanya telah memutuskan untuk mengkhianati kesepakatan.
Perjanjian Sykes-Picot
Pada musim semi tahun 1916 di London, Inggris dan Perancis menyetujui kesepakatan rahasia. Di tengah peperangan, keduanya mendiskusikan bagaimana membagi rampasan jika menang.
Mark Sykes memimpin delegasi Inggris, dengan mitranya dari Prancis adalah François Georges-Picot. Kedua pihak menyetujui perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Sykes – Picot. Dalam perjanjian itu, Inggris akan mendapat wilayah yang sekarang disebut Irak setelah perang berakhir. Sementara Prancis akan menerima wilayah yang mencakup wilayah yang sekarang disebut Suriah.
“Perjanjian Sykes – Picot merupakan perjanjian yang menyusahkan karena berbagai alasan,” Luursema menambahkan. Pertama, pembagian wilayah Ottoman tanpa mempertimbangkan etnis, agama, atau sejarah akan menjadi penyebab banyak konflik di Timur Tengah. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa Inggris telah menjanjikan Suriah kepada negara-negara Arab sebagai imbalan atas bantuan selama perang.
Lawrence, yang ditempatkan di Kairo pada saat Perjanjian Sykes – Picot dibuat, baru mengetahui pengaturan tersebut beberapa bulan kemudian. Dia kemungkinan mengetahui niat Inggris untuk mengkhianati orang-orang Arab pada musim gugur 1916 setelah tiba di Arab.
Bagi Lawrence, bekerja sama dengan negara-negara Arab dan mengetahui bahwa Inggris tidak akan menepati janji adalah hal yang memalukan. Meski begitu, sebagai perwira Inggris, dia merasa terdorong untuk ikut serta dalam konspirasi tersebut.
Menjadi selebritas setelah perang berakhir
Setelah merebut Aqaba, Lawrence mengambil bagian dalam beberapa serangan terhadap Ottoman di Palestina dan wilayah Suriah. Operasi pasukan Arab ini membantu sekutu mendapatkan keunggulan di Timur Tengah. Pada akhirnya, serangan tersebut mengakibatkan menyerahnya Ottoman pada tanggal 30 Oktober 1918.
Segera setelah perang, Lawrence menjadi tokoh terkenal dalam sejarah dunia. Orang yang bertanggung jawab membuatnya terkenal adalah penulis dan pembuat film Amerika Lowell Thomas.
Bersama seorang juru kamera, Thomas berangkat ke Timur Tengah pada tahun 1918 untuk memfilmkan perang tersebut. Dia berharap materi yang dia rekam di sana akan meningkatkan dukungan Amerika terhadap upaya perang. Saat berada di Yerusalem, Thomas bertemu Lawrence dan terpesona dengan pakaian dan tingkah lakunya yang seperti orang Arab.
Thomas memfilmkan Lawrence dan mengambil foto. Semua itu kemudian ia gunakan untuk pertunjukan tentang perang. Pertunjukan bertajuk With Allenby in Palestine ini sukses besar di Amerika dan Inggris.
Thomas mengidentifikasi Lawrence sebagai faktor utama kesuksesan acara tersebut. Kedua pria tersebut bertemu lagi di London untuk syuting materi baru. Pada tahun 1920, Thomas kembali meluncurkan acaranya dengan Lawrence sebagai tokoh sentral. Judul acara tersebut diganti menjadi With Allenby in Palestine dan Lawrence in Arabia.
Lawrence tidak lama menikmati status selebritas barunya. Ia kemudian menyatakan penyesalannya karena mencari pusat perhatian.
Aktivitas Lawrence of Arabia setelah perang
Mulai Februari 1920, Lawrence mulai bekerja sebagai penasihat urusan Arab kepada Menteri Kolonial Winston Churchill. Dalam kapasitas ini, ia melakukan perjalanan ke Timur Tengah beberapa kali. Namun, setelah satu tahun bekerja, Lawrence berhenti. Ia tidak menyukai sisi birokrasi dari pekerjaannya dan terlalu kecewa dengan pemerintah Inggris dan kebijakannya di Timur Tengah.
Lawrence mendaftar ke Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) pada Agustus 1922. Selama bertugas, ia mengerjakan otobiografinya yang berjudul Tujuh Pilar Kebijaksanaan (Seven Pillars of Wisdom). Otobiografi itu diterbitkan pada tahun 1926 dan menjadi salah satu buku terlaris dalam sejarah dunia.
Lawrence menghabiskan sisa masa tugasnya dalam ketidakjelasan. Dia ditempatkan di British India selama beberapa waktu dan bertugas di pangkalan RAF dekat Plymouth. Ketika wajib militernya berakhir pada tahun 1935, Lawrence mundur ke pondoknya di pedesaan Inggris.
Pada bulan Mei 1935, maut pun menjemputnya. Lawrence kehilangan kendali ketika mengendarai motor dan mengalami luka serius. Dokter tidak dapat menyelamatkan Lawrence. Ia pun akhirnya mengembuskan napas terakhir pada tanggal 19 Mei 1935. Sebagai pahlawan perang yang sangat dielu-elukan, kematiannya membuat rakyat Inggris berduka.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR