Nationalgeographic.co.id—Harry Potter punya penggemar yang sangat tinggi di seluruh dunia. Awalnya, cerita fantasi ini merupakan tujuh novel karya J.K. Rowling sejak 1997 hingga 2007.
Kemudian cerita tentang penyihir berkacamata tersebut diadaptasi menjadi film sejak 2001. Sekuel pertamanya bertajuk Harry Potter and the Sorcerer's Stone (Harry Potter dan Batu Bertuah) yang disutradarai Chris Columbus. Adaptasi film ini membuat penggemar cerita tentang penyihir kacamata tersebut meningkat.
Kegemaran akan cerita fiksi Harry Potter meningkatkan keinginan penggemar akan kehidupan dunia fantasi tersebut. Tidak sedikit barang dagangan yang terkait dengan dunia sihir dan Harry Potter diborong oleh penggemar di seluruh dunia, berapa pun harganya.
Dalam cerita Harry Potter, terdapat burung hantu salju (Bubo scandiacus) yang menjembatani dua dunia, dunia nyata (manusia) dan sihir. Burung hantu ini bak kurir. Salah satunya yang bernama Hedwig yang muncul di novel pertamanya, menjadi pihak pertama yang mengantar undangan ke Hogwarts, sekolah sihir.
Burung hantu menjadi rekan selamanya bagi setiap tokoh yang menjadi murid sihir di Hogwarts. Misalnya, Hedwig dan Harry atau Ron Weasley dan Pigwidgeon yang merupakan burung hantu Otus scops. Masih ada banyak spesies burung hantu yang mewarnai cerita Harry Potter sampai sekuel terakhirnya Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 2.
Kedekatan manusia dan burung hantu, sangat digambarkan dalam film Harry Potter. Kedekatan ini digambarkan sebagai 'keakraban' antara manusia dan satwa liar yang punya dampak negatif bagi konservasi satwa.
Sebuah penelitian tahun 2017 di jurnal Global Ecology and Conservation mengungkapkan bahwa Harry Potter berdampak pada perdagangan burung hantu. Makalah bertajuk "The Harry Potter effect: The rise in trade of owls as pets in Java and Bali, Indonesia" digarap oleh Vincent Nijman dan K. Anne-Isola Nekaris, dua peneliti satwa liar di Oxford University.
Penelitian itu mengungkapkan adanya "Efek Harry Potter" di Indonesia. Banyak orang membeli burung hantu setelah novel Harry Potter dirilis pada awal 2000-an. Sebenarnya, tren pembelian burung hantu sudah ada sebelumnya, namun makhluk tersebut jarang muncul di pasar burung.
Di pasar gelap, burung hantu hanya 0,06 persen dari jumlah burung di pasar gelap. Ketika novel dan film Harry Potter muncul, trennya melonjak tinggi, terang para peneliti. Angkanya meningkat menjadi 0,43 persen pada 2008.
Penelitian itu dilakukan oleh Nijman dan Nekaris dengan melihat data dari survei yang pernah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya, para peneliti turun ke lapangan ke beberapa pasar satwa liar di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali, untuk memantau jumlah burung hantu yang tersisa.
"Burung hantu diperdagangkan secara terbuka di pasar burung sehingga tidak perlu menggunakan teknik penyamaran," terang para peneliti tekait proses pemantauannya.
"Kami berjalan menyusuri pasar secara perlahan, mencatat burung hantu dengan mengetikkan spesies dan jumlahnya menggunakan ponsel atau dengan menghafal nomor dan menuliskannya di buku catatan langsung saat meninggalkan pasar."
Penelitian ini bahkan mengungkapkan, beberapa penjual tidak menyadari bahwa menjual burung hantu langka yang sudah lama tidak ditemukan.
Mayoritas burung hantu yang dijual di pasar gelap ditangkap di alam liar. Penangkapan ini dipicu akibat adanya permintaan di pasar untuk memiliki burung hantu. Para peneliti khawatir, meningkatnya permintaan dapat mengancam keberadaan burung hantu di alam liar, dan mengantarkannya pada kepunahan.
Kondisinya semakin mengkhawatirkan seiring waktu karena akses internet dan media sosial Indonesia yang meningkat. Ada banyak satwa liar, termasuk burung hantu, diperdagangkan secara daring.
Para peneliti bahkan menjumpai di dalam perdagangan burung hantu tidak lagi disebut sebagai "burung hantu". Saat berdiskusi, para vendor sering menyebut burung hantu sebagai burung Harry Potter.
"Efek Harry Potter" yang mendorong masyarakat memelihara burung hantu tidak hanya di Indonesia. Melansir BBC, India juga memiliki permasalahan yang sama pada 2010 setelah Harry Potter menjadi sangat populer.
Source | : | Science Direct,BBC |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR