Nationalgeographic.co.id—Naturalis asal Belanda Eugène Dubois (1858—1940) sangat dikenal dalam pelajaran sejarah Indonesia. Dia dikenal karena menemukan Pithecanthropus erectus, spesies manusia purba yang kini lebih dikenal sebagai Homo erectus, di Trinil, Jawa Timur.
Pengungkapan Dubois bertepatan dengan masa di Charles Darwin mengungkapkan teori seleksi awal yang menjadi landasan tentang evolusi. Darwin mengungkapkan adanya spesies hilang yang menghubungkan manusia dengan dunia kera dalam rantai evolusi. Penemuan Dubois pada 1891 di Jawa Timur menyingkap mata rantai yang hilang dari teori Darwin.
Penyingkapan kerangka manusia purba oleh Dubois tidak lepas dari latar belakangnya. Dia adalah putra dari seorang apoteker yang juga walikota di Eijsden, Belanda. Pada masa mudanya, ia sering mengumpulkan bebatuan, fosil, dan tanaman obat bersama ayah dan saudara laki-lakinya.
Rasa penasarannya dengan menemukan sesuatu di tanah semakin bertumbuh ketika bersekolah. Saat ia masih kecil, tepatnya pada 1868, pembahasan teori evolusi memicu kontroversi di lingkungan Dubois. Pasalnya waktu itu ahli biologi Jerman Karl Vogt memberikan ceramah teori ini di kota yang tidak jauh dari tempat tinggal Dubois.
Meski Dubois tidak menghadiri ceramah atau perkuliahan ini, ramainya pembahasan ini mendorongnya untuk mempelajari manusia. Ketika tumbuh menjadi mahasiswa, ia berkuliah di University of Amsterdam untuk belajar kedokteran.
Kecintaannya pada dunia sains membuatnya unggul di kuliah. Akan tetapi Dubois sempat dibuat kecewa oleh profesor anatomi Max Furbinder yang ingin mengabaikan hasil penelitiannya. Meski ini adalah kekecewaan pertamanya di bidang ilmiah, semangatnya tidak surut.
Pithecanthropus erectus di Jawa
Setelah menikah dengan Anna Lojenga, Dubois sudah menguasai anatomi komparatif dan berfokus pada asal-usul manusia. Anna mengagumi suaminya yang sangat terpelajar dan selalu ingin tahu. Dari hasrat untuk menyingkap asal-usul manusia, Dubois bersama Anna dan putrinya Eugenie berangkat ke Hindia Belanda.
Sejarah keberangkatan ke dunia tropis keluarga Dubois dan keluarga kecilnya terjadi sekitar 1887. Saat itu, bagi orang Belanda, Hindia adalah surga. Namun kedatangan Dubois dan keluarganya justru berbeda, terutama Dubois pribadi. Dia ingin menemukan mata rantai yang hilang yang diyakini ada di negeri tropis yang subur.
Sebenarnya, kedatangan ke Hindia Belanda merupakan tugas militer untuk membantu KNIL dalam sejarah. Usahanya untuk menyingkap temuan arkeologi, didanai oleh pmerintah Berlanda.
Awalnya, Dubois ditempatkan di Sumatra dan menemukan fosil Homo sapiens berusia 63-73 ribu tahun dari Goa Lidah Ayer. Namun, hasilnya kurang memuaskan baginya yang ingin menyingkap spesies manusia purba, sehingga berpindah dinas militer ke Jawa Timur, tepatnya di Tulungagung.
Ekspedisinya menyingkap mata rantai manusia yang hilang bersama rombongan. Dalam rombongan tersebut ada dua petugas teknik yang selalu bersamanya, Gertardus Kriele dan Anthonie de Winter. Dua petugas ini mengelola 20 tahanan Jawa yang akan bertugas sebagai kerja paksa di lokasi.
Dalam catatannya, Dubois menyampaikan bahwa 20 tahanan itu bekerja lambat "seperti katak di musim dingin". Sampai akhirnya, tim ekspedisi itu menemukan tengkorak dan gigi geraham yang tidak normal di sebuah dasar tanah liat Sungai Bengawan Solo di dekat Trinil, Ngawi pada 1891.
Sempat dikira, benda tersebut adalah sisa-sisa penyu karena tutup tengkorak manusia purba begitu menebal di dahinya. Kemudian, lapisan tanah dibor sampai bagian bawah hingga menyingkap bentuknya sebagai tengkorak.
Sisa tubuhnya baru tersingkap setahun kemudian berupa tulang paha kiri sekitar 15 meter dari tempat tengkorak. Dalam analisisnya, Dubois memperkirakan bahwa fitur kerangka ini tidak terdapat pada kera, tidak cocok untuk memanjat pohon, dan memiliki fungsi yang sama seperti tubuh manusia.
Dubois yakin, kerangka ini merupakan spesies yang dapat "berdiri tegak dan bergerak seperti manusia". Temuannya itu kemudian dinamai Pithecanthropus erectus yang kelak dipadankan dengan Homo erectus—spesies manusia purba yang umum di Asia. Inilah temuan yang paling populer dari sejarah purbakala di Pulau Jawa.
Setelah dinas militer di Hindia Belanda usai pada 1895, Dubois sempat mengunjungi situs penggalian Situs Shivalik di India utara. Di sana terdapat berbagai temuan vertebrata purba seperti kura-kura raksasa, gajah purba (stegodon), kuda nil, dan buaya.
Kembali ke Belanda
Setelah usai masa tugasnya di negeri koloni, Dubois kembali ke Belanda dengan membawa kerangka yang ditemukannya di Trinil. Selama perjalanan dan di Eropa, beberapa kali Dubois nyaris kehilangan kerangkanya yang disimpan dalam peti atau "tas kerjanya", termasuk ketika ia hendak membawanya ke dalam pameran di Paris pada 1900.
Bagaimana pun, temuan purbakala dan ekspedisi ke Hindia telah membesarkan nama Dubois dalam sejarah. Pada 1897, ia dianugerahi Doktor Kehormatan (Honoris Causa) oleh University of Amsterdam untuk bidang botani dan zoologi.
Dubois juga bekerja sebagai kurator terkait paleontologi, geologi, dan mineralogi di Museum Teylers sejak 1897 hingga 1928. Penugasan ini membuatnya dan keluarganya yang sebelumnya tinggal di Den Haag, berpindah ke Haarlem. Pada 1899, University of Amsterdam menjadikan Dubois sebagai profesor kristalografi, mineralogi, geologi, dan paleontologi.
Dari sinilah, Dubois juga menghadirkan beberapa makalah ilmiah tentang struktur geologis di Belanda. Antara tahun 1911 dan 1920, ia menerbitkan sekitar 27 artikel. Pekerjaannya di bidang ilmiah mendapatkan gelar kebangsawanan dari Kerajaan Belanda.
Popularitasnya pun begitu terkenang di kampung halamannya, Eijsden. Warga sana sangat bangga dengan Dubois dan menyebutnya sebagai "profesor kami". Bahkan, majalah lokal Uit Eijsden Verleden mendedikasikan terbitan khusus untuk Dubois.
Source | : | Wiley Online Library,Historiek |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR