Nationalgeographic.co.id—Kapal cepat berpenumpang belasan orang itu berhenti di tengah segara. Ternyata M. Mansur (52) sengaja mematikan sementara mesin kapal berdaya 125 PS itu. Di bawah langit biru, badan speed boat yang mesinnya mati itu terombang-ambing oleh ombak perairan Muara Badak. Isi lambung dalam perut penumpangnya—perut saya—bak dikocok dan dikocak.
Mansur kemudian sibuk membetulkan ikatan tali karet di bagian mesin speed boat. Kapal itu mengalami sedikit masalah. “Panbel-nya agak sedikit longgar sehingga perlu dieratkan,” kata M. Fachrian Akbar (21) yang saat itu bertugas mengemudikan speed boat.
Selain itu, Mansur juga memperbaiki pendingin mesin kapal. “Kami berikan air tawarnya,” tutur Rian, sapaan Fachrian, menjelaskan apa yang dilakukan ayahnya.
Sabtu siang menjelang sore pada akhir Juli itu, Mansur bersama rombongan hendak menuju Batu Lampe Besar, sebuah spot terumbu karang di perairan Muara Badak, tempat Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Bina Lestari melakukan transplantasi karang. Mansur adalah ketua Pokmaswas Bina Lestari dan Rian adalah anggota termuda kelompok yang memiliki 15 orang anggota tersebut.
Sebelum merajuk, speed boat itu awalnya meluncur mulus dari Pulau Pangempang yang wilayah administratifnya berlokasi di Desa Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di desa inilah kisah Mansur si gila bermula. Dia dicap “gila” oleh beberapa warga desa setempat karena melakukan aksi yang tidak biasa, atau saat itu belum lumrah di desanya.
Aksi yang Mansur lakukan semata karena kecintaannya terhadap laut. Rasa tresnanya terhadap segara. Rasa pedulinya terhadap keberlanjutan perairan Muara Badak. Dia lahir dan besar di tepi laut itu. Berpuluh-puluh tahun hidup dari laut Muara Badak, Mansur ingin laut itu masih bisa terus menghidupi banyak orang lainnya di masa depan, termasuk anak cucunya.
Sejak tahun 1990-an Mansur melakoni pekerjaan penuh waktu sebagai nelayan tangkap di perairan Muara Badak. Saat itulah dia mulai gelisah karena hasil tangkapan dari melautnya terus menurun. Saat melaut, Mansur kerap melihat nelayan-nelayan lain menggunakan alat-alat tangkap yang tak ramah lingkungan. Yang paling dia sebali adalah bom ikan. Dia pernah mengeluh ke nelayan lain soal dampak buruk bom ikannya, tetapi tak digubris bahkan ditentang.
Pada tahun 2000 Mansur beralih profesi menjadi guru olahraga sebuah sekolah dasar negeri di Muara Badak. Dia diterima menjadi guru honorer di sana. Meski menjadi guru, Mansur masih cukup sering melaut untuk berenang dan memancing ikan karena dia merasa hidupnya tak pernah bisa lepas dari laut. “Satu bulan aja enggak lihat laut, bisa sakit,” kata pria berwajah teduh dan berambut cepak itu kepada saya.
Pengalaman Mansur menjadi guru dan keresahannya untuk melindungi laut akhirnya terwadahkan ketika Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur mendatangi Kecamatan Muara Badak dan menawarkan warga sekitar untuk membentuk Pokmaswas guna membantu pemerintah mengawasi perairan Muara Badak sekaligus memberikan sosialisasi kepada sesama warga mengenai larangan penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan.
Pada 2009 Mansur membentuk Pokmaswas Bina Lestari. Namun, menurut ceritanya, Pokmaswas Bina Lestari baru benar-benar bergiat aktif menjaga segara sejak empat tahun kemudian karena beberapa alasan. Mansur mengenang, mengawasi laut Muara Badak dari praktik penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan bukanlah hal enteng. “Awal-awalnya ketika kami tahun 2013 melakukan pelarangan, kalau ketemu orang, mereka malah mengancam,” tutur Mansur.
“Malah pernah saya mau dibom juga. Dibilangnya, ‘Kita memang berteman, bro, tapi bom ini tidak kenal teman,’” kenang Mansur menuturkan ulang perkataan pelaku pengeboman laut itu.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR