Mansur senang, setelah adanya Pokmaswas Bina Lestari, kini tingkat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Muara Badak telah menurun hingga 80%. Hal itu diamini juga oleh Muchlis Efendi, dosen di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Mulawarman (Unmul).
Muchlis telah menjadi mitra ahli bagi Pokmaswas Bina Lestari sejak 2011, lalu berlanjut pada 2013, dan “kemudian sejak 2014 itu intens lah,” katanya. Dia menuturkan bahwa perannya membantu Pokmaswas adalah di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Di sisi lain, anggota Pokmaswas juga membantu “mendampingi mahasiswa kami yang PKL (praktik kerja lapangan) dan penelitian.”
“Jadi sama-sama. Saya waktu penelitian juga ditemani oleh Pak Mansur. Jadi Pak Mansur bantu sambil belajar juga,” tutur Muchlis.
Muchlis menjelaskan bahwa menurunnya tingkat illegal fishing di perairan Muara Badak disebabkan oleh meningkatnya pengawasan oleh masyarakat. Sebab, aktivitas masyarakat di laut pada 2023 kini sudah “jauh lebih ramai” dibanding 2011.
“Semakin sering frekuensi kita bergiat ke laut, aktivitas yang dilakukan di sekitarnya segala macam itu, orang [yang mau berbuat kejahatan terhadap laut] pasti akan mikir. Jadi ramaikanlah laut,” pesannya.
Sekarang perairan Muara Badak sudah semakin semarak oleh kegiatan wisata memancing, snorkeling, menyelam, berenang, dan susur laut naik kapal oleh masyarakat. Pantai-pantai di perairan Muara Badak juga ramai dikunjungi banyak orang untuk bertamasya. Selain perikanan, kegiatan penelitian dan penanaman karang juga banyak dilakukan.
Tujuan saya dan tim National Geographic Indonesia menaiki kapal cepat yang tiba-tiba bermasalah dan berhenti di tengah laut ini adalah untuk meninjau salah satu lokasi penanaman karang itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di awal, kapal itu merajuk. Mansur terpaksa mematikan mesin kapal dan Rian melepaskan tangannya dari kemudi.
Setelah kapal berhasil diperbaiki, barulah Rian memegang kemudi kembali sampai kapal tiba di Batu Lampe Besar, gugusan besar terumbu karang Muara Badak. Di area itu Rian melakukan aksi selam bebas guna memantau kondisi terumbu karang di dasar laut. Di atas speed boat, Mansur mengangkat dan memperlihatkan kerangka besi yang jadi medium transplantasi karang serta beberapa bibit karang di atasnya, menggambarkan seperti apa bentuk awal terumbu karang sebelum menjadi besar dan cantik di bawah laut.
Pokmaswas Bina Lestari tidak hanya bergerak di bidang pengawasan laut, “tetapi juga melestarikan ekosistem pesisir, seperti penanaman mangrove dan penanaman terumbu karang,” kata Rian si pemuda bertubuh kekar. Batu Lampe Besar yang kami datangi ini merupakan bagian dari wilayah Segitiga Terumbu Karang Indonesia yang membentang dari Kalimantan Timur hingga Papua. Segitiga Terumbu Karang adalah sebutan untuk kawasan laut di bagian barat Samudra Pasifik yang punya keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di kawasan ini ditemukan lebih banyak spesies karang dan ikan daripada perairan manapun di bumi.
Muchlis pernah meneliti kondisi terumbu karang di wilayah Gusung Batu Lampe yang sedang ditinjau Rian ini. Hasil risetnya itu tertuang dalam makalah berjudul “Conditions and characteristics of coral reefs in Gusung Batu Lampe, Muara Badak, Kutai Kartanegara, Indonesia” yang telah terbit di jurnal internasional AACL Bioflux pada 2022.
“Data mengenai luas terumbu karang diperoleh dengan teknik snorkeling dan ditandai menggunakan GPS. Selain itu, data mengenai kondisi terumbu karang diambil dari 10 stasiun dengan menggunakan metode LIT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gusung Batu Lampe terdiri dari 2 klaster yaitu Lampe Besar dengan luas 6,2 hektare dan Lampe Kecil dengan luas 0,4 hektare. Terumbu karang di seluruh stasiun penelitian memiliki status kondisional yang bervariasi dari kategori buruk/rusak hingga sangat baik. Rata-rata status kondisional mereka berada pada kategori sedang,” tulis Muclis dalam makalah tersebut.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR