“Bentuk kehidupan karang keras yang paling umum adalah non-Acropora coral massive (CM) dan non-Acropora coral encrusting (CE). Stasiun-stasiun yang terletak di Lampe Besar bagian utara mempunyai persentase tutupan terumbu karang yang lebih baik dibandingkan stasiun-stasiun yang berada di bagian selatan. Komunitas karang hidup di Batu Lampe sebagian besar didukung oleh keberadaan koloni karang keras (HC). Secara keseluruhan, dari seluruh stasiun pengamatan ditemukan 43 genera kelompok HC yang termasuk dalam 14 famili. Selain itu, tiga jenis karang dengan jumlah koloni terbanyak adalah Montipora, Porites, dan Acropora. Selain itu, peningkatan jumlah koloni tidak selalu diikuti dengan peningkatan jumlah genera.”
Muchlis mengatakan hasil riset ini kemudian menjadi acuan bagi Pokmaswas Bina Lestari untuk melakukan rehabilitas karang di spot-spot terumbu karang yang rusak atau dalam kondisi buruk. Pokmaswas mendapat dukungan dana untuk melakukan kegiatan transplantasi karang ini dalam beberapa seri. Donaturnya mulai dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur hingga beberapa perusahaan yang beroperasi di sekitar Muara Badak. Hasilnya, transplantasi karang telah berhasil membuat kondisi terumbu karang menjadi lebih baik dan menciptakan ekosistem baru untuk ikan-ikan.
“Itu menunjukkan bahwa berbanding lurus. Bahwa terumbu karang yang lebih bagus, itu ikannya lebih beragam,” ucap Muchlis.
Mansur sangat ingat bahwa di masa awal upayanya memperbaiki ekosistem laut dan pesisir, dia juga kerap dibilang sebagai orang gila. Contohnya saat dia dan kelompoknya mulai memperindah pesisir Pulau Pangempang agar lokasi itu bisa menjadi destinasi wisata yang indah.
Kini, pesisir tersebut menjelma tempat wisata bernama Pantai Panrita Lopi dan telah dikunjungi oleh banyak orang setiap harinya, terutama pada akhir pekan.
“Pada saat pertama kami membangun destinasi ini kami dianggap orang gila juga karena yang mengatakan orang masyarakat sini juga, ‘Untuk apa dibagusin di situ, paling yang banyak nanti yang hidung panjang.’ Artinya hidung panjang itu paling bekantan yang bikin ramai,” kenang Mansur.
Lalu saat Mansur dan tim menginisiasi kegiatan transplantasi karang, julukan gila dan omongan miring untuknya terdengar lagi. “Beritanya di kampung itu, ‘Pak Mansur ini nanam terumbu karang, terus bagaimana cara memetiknya (memanennya)?’”
Lambat laun banyak nelayan mulai merasakan manfaat dari transplantasi karang itu. Mereka jadi mendapat hasil ikan lebih banyak di sekitar area terumbu karang yang dahulu ditanami oleh Mansur dan timnya.
Masyarakat kemudian menjadi paham bahwa buah dari transplantasi karang itu adalah melimpahnya keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang selain baik untuk nelayan, juga menarik perhatian para pemancing dan penyelam untuk berwisata di sana. Pemasukan warga sekitar dari sektor pariwisata pun turut terdongkrak.
Mansur juga ingat saat pertama kali menanam pohon mangrove di pesisir pulau. Keesokan harinya pohon-pohon itu habis dicabuti oknum nelayan. “Katanya mengganggu area dia untuk pasang jaring. Jadi kubilang, ‘Ini saya ada plot ada 30 meter kali 15 meter. Tolong jangan diganggu. Saya mau jadikan sampel.’”
Berselang setengah tahun, pohon mangrove itu mulai tumbuh besar. Nelayan yang tadinya anti terhadap penanaman mangrove itu melapor kepada Mansur, “Pak, tadi malam saya ngerengge (menangkap ikan dengan rengge/jaring insang) di situ banyak ikannya. Ternyata ada fungsinya juga mangrove itu.” Akhirnya nelayan itu pun sadar dan mulai menanam mangrove sendiri.
Selain akar-akarnya menjadi habitat ikan, batang dan dahan pohon mangrove itu juga menjadi tempat bermain bekantan di Pulau Pangempang. Sebab, bekantan suka makan buah dan daun mangrove. Alhasil, keberadaan mangrove dan bekantan ini menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke sana.
Kini, Mansur justru bangga pernah disebut gila. “Makanya dari kata ‘gila’ itu tadi kami ubah ‘gali informasi langsung aksi’,” ujarnya. “Makanya kadang-kadang berbicara di mana-mana kami katakan kami memang orang gila, tapi ‘gali informasi langsung aksi’.”
Muchlis mengapresiasi Mansur dan timnya serta berkomitmen untuk selalu mendukung Pokmaswas Bina Lestari karena peran mereka sangat besar. “Terutama di pengawasan, Karena ujung tombaknya itu mereka. Mereka yang sehari-harinya di lapangan.”
Melibatkan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan laut lewat penanaman karang dan mangrove juga amat penting. Sebab, sebuah studi bertajuk “Participation, not penalties: Community involvement and equitable governance contribute to more effective multiuse protected areas” yang terbit di jurnal Science Advances pada Mei 2022 menemukan bahwa biomassa ikan cenderung lebih tinggi di wilayah di mana masyarakat lebih terlibat dalam pengambilan keputusan dan memiliki lebih banyak hak pengelolaan lokal. Studi tersebut berfokus pada empat Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Bentang Laut Kepala Burung Indonesia.
Keterlibatan Mansur dan rekan-rekannya dalam melestarikan perairan Muara Badak tak lepas dari ikatan fisik dan emosi mereka dengan lingkungan mereka sendiri. Mansur mengaku melakukan aksi-aksi gila demi segara itu agar banyak orang di masa depan, terutama anak cucunya, masih bisa melihat dan menikmati keindahan laut dan pesisir Muara Badak beserta biotanya, termasuk terumbu karang, ikan-ikan, mangrove, bekantan, bahkan penyu.
Hal itulah yang kini, untungnya, masih bisa dirasakan oleh Rian sang anak. Sejak masih SMP Rian sudah bisa mengendarai speed boat dan menyelam untuk menikmati laut. “Diajarin alat selam, diajarin nyetir kapal oleh bapak,” kenang Rian senang. Sejak masih SMP pula, persisnya sejak tahun 2017, Rian telah ikut bergabung dengan Pokmaswas yang dipimpin ayahnya itu.
Kini, Rian rutin bertugas membantu ayahnya mengawasi segara dari praktik penangkapan ikan yang masih memakai alat ilegal. Misalnya penangkapan ikan yang menggunakan pukat harimau, bom, dan potas atau racun. “Cara membagi waktunya sih setiap Senin sampai Jumat itu waktunya kuliah. Jadi Jumat sore sampai Minggu sore itu waktunya kami keliling dengan Pokmaswas,” ujar Rian yang sekarang sedang menjalani kuliah semester 5 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, FPIK Unmul.
Rian sebagai sang putra telah menyelami betul pemikiran ayahnya dan dia kagum terhadap sang ayah. “Yang dulunya bapak saya itu dianggapnya seperti orang gila, kini justru banyak orang yang menghormatinya,” ucap Rian bangga. Barangkali tak ada pencapaian lebih besar bagi seorang ayah selain mengetahui bahwa anaknya bangga terhadap orang tuanya.
Kebanggaan Rian terhadap ayahnya ini tampaknya bisa membuat Pokmaswas bernapas lega dan panjang. Tak perlu ada rasa kekhawatiran soal regenerasi dan keberlanjutan kegiatan Pokmaswas. Sebab, ketika suatu saat nanti perjuangan Mansur untuk segara harus berhenti karena batas usia hidupnya, ada generasi lebih muda yang tampaknya akan melanjutkan perjuangannya. Demi laut yang lebih berkelanjutan.
-----
*Catatan: Judul feature ini terinspirasi dari tajuk film pendek arahan Wregas Bhanuteja yang mengadaptasi cerita pendek karya Eka Kurniawan dengan judul yang sama: Tak Ada yang Gila di Kota Ini.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR