Nationalgeographic.co.id – Pada tahun 1590-an, pemersatu Jepang, Toyotomi Hideyoshi, memiliki ide yang luar biasa. Dia bertekad untuk menaklukkan Korea, dan kemudian melanjutkannya ke Tiongkok, bahkan mungkin India.
Antara tahun 1592 dan 1598, Hideyoshi melancarkan dua invasi besar ke Semenanjung Korea, yang dikenal dengan nama Perang Imjin.
Meskipun Korea mampu menangkis kedua serangan tersebut, Kekaisaran Jepang tidak mundur dari invasi tersebut dengan tangan kosong.
Profesor Sejarah Universitas Boston, Kallie Szczepanski, menjelaskan bahwa ketika Kekaisaran Jepang mundur, mereka “menangkap dan memperbudak puluhan ribu petani dan perajin Korea, serta membawa mereka kembali ke Jepang.”
Invasi Kekaisaran Jepang ke Korea
Pemerintahan Hideyoshi menandakan berakhirnya Sengoku– lebih dari 100 tahun perang saudara yang kejam.
Pada masa itu, negara ini dipenuhi oleh para samurai yang tidak tahu apa-apa selain perang. Hideyoshi membutuhkan pelampiasan atas kekerasan mereka. Dia juga berusaha untuk mengagungkan namanya sendiri melalui penaklukan.
“Penguasa Jepang mengalihkan perhatiannya ke Joseon Korea, sebuah negara bagian dari Ming Tiongkok, dan sebuah tangga yang mudah untuk menuju daratan Asia dari Jepang,” jelas Kallie.
Selain itu, ketika Kekaisaran Jepang terlibat dalam konflik yang tak berkesudahan, Korea telah tertidur selama berabad-abad dalam kedamaian. Hal ini membuat Hideyoshi yakin bahwa para samurai bersenjata akan dengan mudah menyerbu tanah Joseon.
Invasi awal pada bulan April 1592 berjalan dengan lancar, dan pasukan Jepang berada di Pyongyang pada bulan Juli.
Seiring berjalannya waktu, jalur pasokan Jepang yang terlalu panjang mulai memakan korban. Angkatan laut Korea juga mulai membuat sulit bagi kapal-kapal pasokan Jepang. Perang pun terhenti, dan tahun berikutnya Hideyoshi memerintahkan untuk mundur.
Meskipun mengalami kemunduran, Hideyoshi tidak siap untuk melepaskan mimpinya. Pada tahun 1594, dia mengirim pasukan invasi kedua ke Semenanjung Korea.
Namun, dengan bantuan Dinasti Ming, lagi-lagi Korea mampu menekan serangan pasukan Jepang. Kekaisaran Jepang di ambang kekalahan.
Saat kekalahan mulai terasa bagi pasukan Jepang, mereka melakukan kekejaman mengerikan seperti memotong hidung penduduk Korea di beberapa desa.
Bak piala, hidung-hidung tersebut kemudian diserahkan kepada para komandan Jepang. Selain itu, mereka merusak atau merampas karya seni dan pengetahuan ilmiah yang sangat berharga.
“Sudah jelas sejak awal kampanye bahwa Jepang tidak akan menaklukkan Korea. Daripada semua usaha itu sia-sia, oleh karena itu, Jepang mulai menangkap dan memperbudak orang Korea yang mungkin berguna bagi Jepang,” jelas Kallie.
Perkiraan jumlah total orang Korea yang diperbudak dan dibawa kembali ke Jepang berkisar antara 50.000 hingga 200.000 orang.
Sebagian besar kemungkinan besar adalah petani atau buruh. Selain itu, cendekiawan dan perajin Konfusianisme seperti pembuat tembikar dan pandai besi sangat sangat berharga bagi mereka.
Namun, Kallie menjelaskan, pengaruh paling terlihat dari orang-orang Korea yang diperbudak ini di Jepang adalah gaya keramik.
Yi Sam-pyeong dan Tembikar Arita
Salah satu perajin keramik Korea yang diculik oleh tentara Hideyoshi adalah Yi Sam-pyeong. Kisahnya adalah contoh yang menunjukkan bagaimana perajin Korea memainkan peran penting dalam pengembangan industri tembikar di sana.
Bersama dengan seluruh keluarga besarnya, Yi dibawa ke kota Arita, di Prefektur Saga di pulau Kyushu bagian selatan.
“Yi menjelajahi daerah tersebut dan menemukan endapan kaolin, tanah liat putih bersih dan ringan, yang memungkinkannya untuk memperkenalkan pabrik tembikar ke Jepang.” kata Kallie.
Tak lama kemudian, Arita menjadi pusat produksi tembikar di Kekaisaran Jepang. Yi Sam-pyeong menghabiskan sisa hidupnya di Jepang dan menggunakan nama Jepang Kanagae Sanbee.
Tembikar Satsuma
“Daimyo dari wilayah Satsuma di ujung selatan Pulau Kyushu juga ingin menciptakan industri tembikar,” jelas Kallie. “Oleh sebab itu, ia menculik perajin tembikar Korea dan membawa mereka kembali ke ibukotanya.”
Mereka mengembangkan gaya tembikar yang disebut “Satsuma”. Tembikar ini dipenuhi hiasan seperti lukisan pemandangan warna-warni dan hiasan emas.
Seperti barang pecah belah Arita, barang pecah belah Satsuma diproduksi untuk pasar ekspor. Melalui para pedagang Belanda, tembikar Satsuma menyebar ke Eropa.
Ri Bersaudara dan Tembikar Hagi
Tidak ingin ketinggalan, daimyo dari Prefektur Yamaguchi, di ujung selatan pulau utama Honshu juga menangkap seniman keramik Korea untuk membuat karya tembikar.
Tawanannya yang paling terkenal adalah dua bersaudara, Ri Kei dan Ri Shakko. Mereka membuat keramik dengan gaya baru yang disebut “Hagi” pada tahun 1604.
Berbeda dengan karya tembikar sebelumnya yang juga dijual ekspor, tembikar Hagi hanya dinikmati di Kekaisaran Jepang saja.
Saat ini, Kallie menjelaskan, “peralatan Hagi berada di urutan kedua setelah Raku dalam dunia perangkat upacara minum teh Jepang.”
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR