Panjang dan hiasan tunik seringkali bervariasi tergantung pada status sosial pria. Di luar tunik, pria mungkin mengenakan mantel atas, dan termasuk pakaian tubuh bagian bawah selang atau celana.
Fesyen pria juga memperkenalkan berbagai bentuk tutup kepala, mulai dari coif sederhana hingga pendamping dan topi yang lebih rumit.
Pakaian untuk pria biasanya dirancang untuk bekerja dan berperang, dengan kebutuhan kebebasan bergerak menjadi faktor penting dalam desain.
Sebaliknya, pakaian wanita lebih bervariasi dan berkembang lebih nyata sepanjang periode tersebut.
Pakaian wanita awal abad pertengahan relatif sederhana, mencerminkan pakaian pria berupa tunik atau gaun panjang.
Seiring waktu, pakaian ini menjadi lebih pas dan rumit, tidak hanya mencerminkan status wanita tetapi juga nilai-nilai kesopanan dan kesopanan dalam masyarakat.
Wanita yang sudah menikah umumnya diharapkan untuk menutupi rambut mereka, sehingga mengarah pada berkembangnya berbagai macam kerudung, wimples dan hiasan kepala yang rumit.
Namun, perlu dicatat bahwa norma gender ini tidak bersifat mutlak. Ada pertimbangan praktis dan variasi regional yang memungkinkan terjadinya beberapa penyimpangan dari norma-norma tersebut.
Misalnya, di daerah yang lebih dingin, wanita mungkin memakai selang untuk menghangatkan diri, pakaian yang biasanya diasosiasikan dengan pria.
Perempuan pekerja, terutama di pedesaan, mengenakan pakaian yang lebih praktis seperti laki-laki. Seiring berjalannya waktu, seiring dengan berkembangnya norma-norma masyarakat, begitu pula fesyen dalam sejarah abad pertengahan.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR