Nationalgeographic.co.id—Sejarah Abad Pertengahan menonjol sebagai salah satu era yang paling menarik, masa para kesatria dan kastil, raja dan ratu, serta masa sosial, politik dan budaya yang berpengaruh.
Salah satunya adalah fesyen sebagai simbol kekuasaan, status dan identitas yang kuat dalam masyarakat abad pertengahan.
Kualitas, warna, dan gaya pakaian seseorang merupakan cerminan jelas posisi seseorang dalam hierarki sosial yang kaku.
Di luar norma-norma masyarakat, fesyen berfungsi sebagai cermin jiwa, yang tidak hanya mencerminkan siapa diri seseorang, namun juga cita-citanya
Sejarah Abad Pertengahan adalah era penting dalam sejarah Eropa yang berlangsung dari abad ke-5 hingga akhir abad ke-15.
Periode ini sangat luas, sering kali terbagi menjadi Abad Pertengahan Awal, Abad Pertengahan, dan Abad Pertengahan Akhir, yang masing-masing memiliki lingkungan sosio-politik, nuansa budaya, dan karakteristiknya sendiri-sendiri.
Abad Pertengahan Awal, juga dikenal sebagai Abad Kegelapan dimulai pada abad ke-5 hingga ke-10, ditandai dengan invasi, migrasi, dan politik.
Pakaian pada era ini sebagian besar bersifat utilitarian, dirancang untuk fungsionalitas dan kehangatan daripada gaya atau status.
Namun, pada abad-abad inilah benih-benih mode abad pertengahan ditaburkan. Gaya-gaya berbeda mulai muncul di antara kelas-kelas sosial yang berbeda.
Abad Pertengahan dari abad ke-11 hingga ke-13, merupakan masa perubahan besar. Perkembangan kota, perang salib, berkembangnya kesatriaan, dan berdirinya universitas-universitas semuanya mempunyai dampak yang signifikan terhadap masyarakat, termasuk mode.
Pakaiannya menjadi lebih bervariasi dan rumit, mencerminkan meningkatnya kekayaan dan kekuasaan kaum bangsawan serta bangkitnya kelas pedagang yang makmur.
Abad Pertengahan Akhir, dari abad ke-14 hingga akhir abad ke-15, merupakan masa krisis dan transisi. Periode ini ditandai dengan peristiwa-peristiwa seperti Perang Seratus Tahun, Kematian Hitam dan Perang Tani.
Peristiwa-peristiwa ini mempunyai konsekuensi sosial yang besar, tidak terkecuali fesyen. Tren pakaian menjadi semakin beragam.
Pakaian sebagai Status Sosial
Dalam sejarah abad pertengahan, pakaian lebih dari sekadar kebutuhan dasar manusia. Pakaian adalah alat komunikasi, ekspresi identitas, dan penanda sosial hirarki.
Setiap elemen, mulai dari pilihan bahan hingga warna dan potongan, penuh dengan simbolisme dan mengirimkan pesan yang jelas tentang status, pekerjaan dan bahkan status pemakainya.
Landasan komunikasi busana ini adalah penggambaran yang jelas antar kelas. Kaum bangsawan, pejabat gereja, dan kaum borjuis baru mampu membeli kain kaya seperti sutra, beludru, dan brokat, yang diwarnai dengan warna-warna cerah dan mahal.
Bahan-bahan berkualitas tinggi ini sering kali dihiasi dengan sulaman rumit, hiasan bulu, dan bahkan batu permata berharga, yang menunjukkan kekayaan dan kekuasaan.
Sebaliknya, pakaian kaum tani bercirikan kesederhanaan, terbuat dari bahan terjangkau seperti wol atau linen. Dengan warna alami atau kusam yang mudah dan murah untuk diproduksi.
Perbedaan Pakaian Pria dan Wanita Abad Pertengahan
Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup dan perlindungan terhadap cuaca, tetapi juga merupakan indikator gender, status dan peran sosial seseorang.
Bagian ini mengeksplorasi dampak gender terhadap mode abad pertengahan, ekspektasi dan norma masyarakat yang memandu pilihan pakaian pria dan wanita.
Pada umumnya pakaian pria pada Abad Pertengahan didesain untuk kepraktisan dan kenyamanan. Dasar dari sebagian besar pakaian pria adalah tunik, dikenakan di atas kemeja atau bagian bawah tunik.
Panjang dan hiasan tunik seringkali bervariasi tergantung pada status sosial pria. Di luar tunik, pria mungkin mengenakan mantel atas, dan termasuk pakaian tubuh bagian bawah selang atau celana.
Fesyen pria juga memperkenalkan berbagai bentuk tutup kepala, mulai dari coif sederhana hingga pendamping dan topi yang lebih rumit.
Pakaian untuk pria biasanya dirancang untuk bekerja dan berperang, dengan kebutuhan kebebasan bergerak menjadi faktor penting dalam desain.
Sebaliknya, pakaian wanita lebih bervariasi dan berkembang lebih nyata sepanjang periode tersebut.
Pakaian wanita awal abad pertengahan relatif sederhana, mencerminkan pakaian pria berupa tunik atau gaun panjang.
Seiring waktu, pakaian ini menjadi lebih pas dan rumit, tidak hanya mencerminkan status wanita tetapi juga nilai-nilai kesopanan dan kesopanan dalam masyarakat.
Wanita yang sudah menikah umumnya diharapkan untuk menutupi rambut mereka, sehingga mengarah pada berkembangnya berbagai macam kerudung, wimples dan hiasan kepala yang rumit.
Namun, perlu dicatat bahwa norma gender ini tidak bersifat mutlak. Ada pertimbangan praktis dan variasi regional yang memungkinkan terjadinya beberapa penyimpangan dari norma-norma tersebut.
Misalnya, di daerah yang lebih dingin, wanita mungkin memakai selang untuk menghangatkan diri, pakaian yang biasanya diasosiasikan dengan pria.
Perempuan pekerja, terutama di pedesaan, mengenakan pakaian yang lebih praktis seperti laki-laki. Seiring berjalannya waktu, seiring dengan berkembangnya norma-norma masyarakat, begitu pula fesyen dalam sejarah abad pertengahan.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR