Nationalgeographic.co.id - Abraham Lincoln adalah tokoh sejarah dunia yang tak terlupakan. Dia adalah Presiden Amerika Serikat ke-16 yang berpengaruh. Namun kehidupannya berakhir tragis.
Perjalanan Lincoln ke dunia politik dimulai pada tahun 1830-an, dia bertugas di Badan Legislatif Negara Bagian Illinois dan kemudian di Dewan Perwakilan AS pada tahun 1846.
Kariernya begitu melesat hingga menjadi Presiden Amerika Serikat pada tahun 1860. Sosoknya menjadi pusat perhatian politik nasional pada saat krisis yang parah.
Dalam catatan sejarah dunia, Lincoln menghadapi banyak tantangan besar selama masa kepresidenannya, termasuk mengelola negara yang terpecah dan menavigasi kompleksitas politik dan kepemimpinan di masa perang.
Lincoln adalah sosok yang sangat berkomitmen untuk melawan perbudakan demi kemajuan serta keadilan di Amerika.
Kemampuan Lincoln dalam mengartikulasikan visinya untuk Amerika, terutama dalam Pidato Gettysburg yang disampaikan pada tanggal 19 November 1863, menunjukkan keahliannya sebagai orator dan pemahamannya yang mendalam tentang prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan manusia.
Pidato dan tulisannya pada periode ini mencerminkan landasan filosofis dan moral yang mendalam, khususnya mengenai isu perbudakan dan hak asasi manusia.
Pertumpahan Darah Perang Saudara
Perang Saudara, konflik yang menentukan dalam sejarah Amerika. Pasukan Konfederasi menyerang Fort Sumter di Carolina Selatan, hanya sebulan setelah pelantikan Abraham Lincoln sebagai Presiden.
Perang ini berasal dari ketegangan yang mengakar antara negara bagian Utara dan Selatan, terutama mengenai masalah perbudakan dan hak-hak negara.
Negara-negara industri di Utara, yang mendukung persatuan bangsa dan semakin menentang perbudakan, bentrok dengan negara-negara agraris di Selatan, yang berupaya mempertahankan cara hidup mereka, termasuk institusi perbudakan.
Ketika perang berlangsung, pertempuran seperti Pertempuran Gettysburg pada bulan Juli 1863 dan Pengepungan Vicksburg, yang berpuncak pada tanggal 4 Juli 1863 menandai titik balik.
Konfederasi, di bawah pemimpin seperti Jenderal Robert E. Lee, pada awalnya meraih beberapa kemenangan, sehingga memupuk keyakinan akan kemungkinan kemenangan Selatan.
Namun, kekuatan industri Uni Eropa, bersama dengan kepemimpinan strategis di bawah jenderal seperti Ulysses S. Grant, mulai memberikan keuntungan bagi Korea Utara.
Proklamasi Emansipasi Lincoln, yang berlaku efektif 1 Januari 1863, mengubah sifat perang. Meskipun awalnya berfokus pada pelestarian Persatuan, perang sekarang juga mengambil bentuk perang salib melawan perbudakan.
Penyerahan Jenderal Lee kepada Jenderal Grant di Gedung Pengadilan Appomattox pada tanggal 9 April 1865, secara efektif menandai berakhirnya Perang Saudara.
John Wilkes Booth dan Pembunuhan Lincoln
John Wilkes Booth, lahir pada 10 Mei 1838, di Maryland, muncul sebagai salah satu tokoh paling terkenal dalam sejarah Amerika setelah pembunuhannya terhadap Presiden Abraham Lincoln.
Booth, seorang aktor terkenal dan pendukung setia perjuangan Konfederasi, memendam kebencian yang mendalam terhadap Lincoln dan Union.
Dia memandang kepresidenan dan tindakan Lincoln, khususnya Proklamasi Emansipasi, sebagai tindakan tirani dan merusak cara hidup Selatan.
Awalnya, Booth berencana untuk tidak membunuh Lincoln, tetapi menculiknya. Rencana ini, yang dirancang pada akhir tahun 1864 dan awal tahun 1865, melibatkan penculikan Presiden dan membawanya ke Richmond, ibu kota Konfederasi, dalam upaya untuk mendemoralisas Union dan menegosiasikan persyaratan yang lebih baik untuk Selatan.
Booth merekrut beberapa konspirator untuk plot ini, termasuk Lewis Powell, David Herold, George Atzerodt, dan Mary Surratt, pemilik rumah kos tempat para konspirator sering bertemu.
Namun, ketika kekalahan Konfederasi semakin jelas, rencana Booth beralih secara dramatis ke arah pembunuhan.
Kesempatan muncul dengan sendirinya ketika Booth mengetahui rencana Lincoln untuk menghadiri pertunjukan di Teater Ford pada tanggal 14 April 1865.
Booth, yang akrab dengan tata letak teater dan memiliki akses yang mudah karena statusnya sebagai aktor terkenal, melihat ini sebagai kesempatan sempurna untuk mewujudkan tujuan barunya.
Pada malam pembunuhan tersebut, rekan konspirator Booth juga ditugaskan peran mereka dalam skema yang lebih luas.
Lewis Powell ditugaskan untuk membunuh Menteri Luar Negeri William H. Seward, David Herold untuk membantu Powell, dan George Atzerodt ditugaskan untuk membunuh Wakil Presiden Andrew Johnson.
Bagaimana Lincoln Dibunuh?
Teater Ford di Washington, D.C. adalah gedung tiga lantai yang terletak di 10th Street. Presiden Abraham Lincoln dan istrinya, Mary Todd Lincoln, dijadwalkan menghadiri pertunjukan "Our American Cousin."
Keluarga Lincoln, ditemani oleh Mayor Henry Rathbone dan tunangannya, Clara Harris, datang terlambat, tetapi disambut dengan tepuk tangan antusias saat mereka duduk di dalam kotak presiden, sebuah lokasi mewah dan mencolok yang menghadap ke panggung.
Booth diam-diam memasuki kotak presiden. Dengan pistol derringer di tangannya, dia menembak bagian belakang kepala Lincoln dari jarak dekat. Peluru masuk dekat telinga kiri dan bersarang di belakang mata kanan.
Suara tembakan awalnya tidak dikenali oleh banyak penonton, mungkin disebabkan oleh bagian dari drama tersebut.
Namun, realitas situasi menjadi sangat jelas ketika Mayor Rathbone, yang berusaha menghentikan Booth, terluka parah oleh pisau Booth. Lincoln koma selama sembilan jam hingga kematiannya pada tanggal 15 April 1865.
Perburuan para Pembunuh
Menyusul pembunuhan Presiden Abraham Lincoln pada tanggal 14 April 1865, perburuan besar-besaran pun terjadi terhadap John Wilkes Booth dan rekan konspiratornya.
Pengejaran ini menjadi salah satu operasi yang paling ekstensif dan intens dalam sejarah dunia. Pencarian dipimpin oleh Departemen Perang, dengan Menteri Perang Edwin Stanton mengoordinasikan upaya untuk menangkap mereka yang bertanggung jawab atas kematian Presiden.
Booth melarikan diri dengan menunggang kuda ke Maryland Selatan, ditemani oleh David Herold. Pasangan ini awalnya mencari perlindungan di rumah Dr. Samuel Mudd, yang menyebabkan patah kaki Booth.
Selama beberapa hari berikutnya, Booth dan Herold menghindari penangkapan, bergerak melalui pedesaan Maryland dan ke Virginia.
Sementara itu, para konspirator lainnya dengan cepat ditangkap. Lewis Powell, yang menyerang Menteri Luar Negeri William H. Seward pada malam yang sama dengan pembunuhan tersebut, ditangkap pada 17 April.
George Atzerodt, yang ditugaskan untuk membunuh Wakil Presiden Andrew Johnson tetapi gagal melaksanakan tindakan tersebut, ditangkap pada 20 April.
Mary Surratt, pemilik rumah kos tempat para konspirator bertemu, juga ditahan. Perburuan terhadap Booth semakin intensif ketika ribuan tentara dan petugas penegak hukum menjelajahi pedesaan.
Pencarian mencapai klimaksnya pada tanggal 26 April, ketika Booth dan Herold ditemukan bersembunyi di gudang tembakau di pertanian Richard Garrett di Virginia.
Herold menyerah, tetapi Booth menolak, menyatakan dia lebih suka bertarung sampai mati. Gudang itu dibakar untuk mengusir Booth, dan dia kemudian ditembak oleh Sersan Boston Corbett.
Booth meninggal karena luka-lukanya beberapa jam kemudian. Setelah kematian Booth, fokus beralih ke persidangan para konspirator yang ditangkap.
Dalam pengadilan militer yang dimulai pada Mei 1865, delapan orang diadili karena keterlibatan mereka dalam konspirasi tersebut.
Empat di antaranya, antara lain Mary Surratt, Lewis Powell, David Herold, dan George Atzerodt. Mereka dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung yang dilakukan pada 7 Juli 1865.
Yang lainnya menerima hukuman penjara dengan jangka waktu yang berbeda-beda. Pembunuhan Lincoln juga meninggalkan kenangan abadi dalam ingatan dalam sejarah dunia. Dia diabadikan sebagai martir bagi Persatuan dan perjuangan kebebasan, dan warisannya terus membentuk sejarah Amerika.
Monumen dan tugu peringatan didirikan untuk menghormatinya, dan kehidupan dan kematiannya menjadi tema sentral dalam memori kolektif bangsa tentang Perang Saudara.
Pada tahun-tahun berikutnya, duka cita terhadap Lincoln berkembang menjadi refleksi yang lebih mendalam atas kontribusinya terhadap bangsa.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR