Nationalgeographic.co.id—Sebagai makhluk mitologi, burung foniks (burung phoenix) terkenal dalam berbagai cerita khayalan masa lalu. Mitologi burung foniks ini sejatinya berasal dari Mesir kuno, Yunani kuno, dan Mesopotamia kuno. Burung ini dikenal hidup abadi atau berumur panjang, penyendiri, dan simbol kesucian.
Seiring perkembangannya, burung ini diadaptasi dalam mitologi kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Timur Tengah era Islam. Pada era Islam, foniks dikenal sebagai "anqa" yang disebutkan dalam berbagai cerita rakyat atau mitologi, dan cerita kenabian.
Nama anqa sendiri diketahui berasal dari cerita Kamaluddin Ad-Damiri, ahli hewan dari Kesultanan Mamluk di Mesir. Dalam buku Ḥayatul hayawan al-kubra (Kehidupan Hewan yang Hebat), dia menyebut burung foniks sebagai anqa mugarib. Alasan penamaan itu karena burung foniks seperti memiliki kerah putih di lehernya (unuq, yang masih satu bentuk kata bahasa Arab untuk anqa).
"Dongeng tentang burung 'anqa' ini memiliki ciri khas, karena termasuk dongeng yang mungkin dapat kita kategorikan seperti 'kisah impor'," terang Walid Fikri, sejarawan Mesir dalam buku Mitos-mitos Legendaris dalam Khazanah Klasik Muslim.
Menurut Fikri, cerita burung foniks sebagai mitologi Timur Tengah hari ini juga telah dikenal dalam kebudayaan Arab pra-Islam. Pengenalan ini disebabkan hubungan dagang dan kebudayaan antara bangsa-bangsa lain.
Ketika Islam muncul dan membawa kejayaan bangsa Arab, banyak periwayat yang memasukkan anqa ke dalam cerita keagamaan.
Cerita tentang anqa disebutkan oleh Zakariya al-Qazwaini (1203-1283), ahli geografi dari Kekaisaran Abbasiyah keturunan Arab. Al-Qazwaini menyebut makhluk mitologi Timur Tengah ini dalam bukunya yang berjudul Ajaib Ghara'ib Wa Al-Makhluqat Al-Mawjudat (Keajaiban Penciptaan dan [fenomena] Makhluk-makhluk Unik—terjemahan).
Al-Qazwaini menggambarkan anqa sebagau burung raksasa yang dapat menyambar gajah bagai elang menyambar tikus. Tidak jarang, makhluk ini menyerang manusia. Disebutkan oleh Al-Qazwaini, burung itu memiliki leher panjang yang diutus Tuhan untuk diturunkan di tempat Yajuj dan Majuj berada, dan memakan mereka.
Lebih lanjut, Al-Qazwaini menceritakan tentang anqa seperti pernah melihatnya. Dikisahkan siklus kehidupan anqa bisa hidup selama 1.700 tahun. Makhluk itu, dalam mitologi Timur Tengah, akan kawin saat berumur 500 tahun, dan betinanya akan mengerami telurnya selama 120 tahun.
Burung ini muncul dalam cerita dari imam di Andalusia Ibnu Hazm. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Hanzhalah adalah nabi dari bangsa Yahudi keturunan Yehuda yang diamini juga oleh umat muslim. Hanzhalah bin Shafwan diutus untuk bangsa Rass yang menyembah berhala, kemudian dibunuh.
Hanzhalah berdoa kepada Tuhan agar anqa tidak menyerang tempatnya dan ditempatkan di satu pulau di bawah garis khatulistiwa. Di pulau tersebut, anqa berkuasa atas semua hewan dan tidak memangsa mereka. Untuk mencari makan, anqa akan keluar pulau.
Tidak hanya mengenai cerita Hanzhalah, sebagai makhluk mitologi Timur Tengah yang populer pada masa kejayaan Islam, burung anqa diriwayatkan hidup sezaman dengan Nabi Musa dan Sulaiman.
Cerita tentang Nabi Musa ini berasal dari periwayat hadis Abdullah bin Abbas. Disebutkan terdapat seekor burung bernama Anqa yang memiliki empat buah sayap dan wajah seperti manusia. Burung tersebut dikirimkan Tuhan kepada Musa. Musa harus menjaganya dan memberi makan berupa hewan-hewan liar yang hidup sekitar Baitul Maqdis (Yerusalem).
Setelah Musa wafat, burung itu berpindah ke Hijaz dan berkembang biak. Aktivitasnya di sana sangat mengganggu penduduk sekitar dengan memangsa anak-anak. Dari sinilah, Khalid bin Sinnan al Abbasi, yang diyakini merupakan nabi Arab setelah Isa dan sebelum Muhammad, berdoa agar burung tersebut diputuskan keturunannya hingga punah.
Penyebaran anqa sebagai mitologi Timur Tengah tergambarkan pada masa gemilang di Yerusalem, tepatnya pada cerita Nabi Sulaiman. Berbeda dengan cerita lainnya, anqa dalam kisah Nabi Sulaiman cenderung bernilai filosofis atau memiliki pesan moral.
Disebutkan bahwa anqa keberatan pendapat Nabi Sulaiman yang mengatakan "qada (ketentuan dari Allah) tidak bisa diubah". Sang nabi dan raja terkaya di Yerusalem itu segera menantang anqa yang keberatan.
Tantangan yang diberi Sulaiman kepada anqa adalah mencegah seorang bayi perempuan di kerajaan timur berzina saat dewasa. Anqa segera terbang dan mengurung sang bayi, mengasuhnya seperti anak sendiri, dan menjaganya hingga dewasa di suatu pulau.
Singkat cerita, anak perempuan itu bertemu dengan seorang pemuda terdampar di pulaunya. Keduanya saling terpikat, memadu kasih, hingga berzina.
Pada akhirnya anqa membawa perempuan itu ke Sulaiman. Sulaiman justru memberi tahu kepada anqa bahwa selama ini anak yang dijaga itu telah berzina tanpa sepengatahuan anqa. Mengetahui hal itu, anqa panik dan malu. Dia kabur ke arah barat dan enggan menemui manusia lagi.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR