Sejak awal penggunaannya, banyak spekulasi yang beredar mengenai apakah kepala orang yang dipenggal tetap sadar setelah dipotong. Perdebatan ini mencapai puncaknya pada 1793, ketika seorang asisten algojo menampar wajah kepala salah satu korbannya. Saat itu para penonton mengaku melihat pipinya memerah karena marah.
Dokter kemudian meminta para terpidana untuk mencoba mengedipkan mata atau membiarkan satu mata terbuka setelah eksekusi untuk membuktikan bahwa mereka masih bisa bergerak. Dan yang lain meneriakkan nama almarhum atau memaparkan kepala mereka ke lilin menyala dan amonia untuk melihat reaksinya.
Pada 1880, seorang dokter bernama Dassy de Lignieres bahkan memompa darah ke kepala seorang pembunuh anak yang dipenggal kepalanya. “Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pembunuh itu dapat hidup kembali dan dapat berbicara,” tambah Andrews.
Eksperimen mengerikan ini dihentikan pada abad ke-20. Tapi penelitian terhadap tikus menemukan bahwa aktivitas otak dapat berlanjut selama sekitar 4 detik setelah pemenggalan kepala.
Guillotine digunakan untuk eksekusi oleh Nazi
Guillotine paling terkenal dikaitkan dengan Prancis yang revolusioner. Alat ini mungkin juga memakan banyak korban jiwa di Jerman pada masa Third Reich. Adolf Hitler menjadikan guillotine sebagai metode eksekusi negara pada tahun 1930-an. Ia memerintahkan agar 20 alat eksekusi tersebut ditempatkan di kota-kota di seluruh Jerman.
Menurut catatan Nazi, guillotine akhirnya digunakan untuk mengeksekusi sekitar 16.500 orang antara tahun 1933 dan 1945. Banyak dari mereka adalah pejuang perlawanan dan pembangkang politik.
Guillotine terakhir digunakan pada tahun 1970an
Guillotine tetap menjadi metode hukuman mati negara Prancis hingga akhir abad ke-20. Terdakwa pembunuh Hamida Djandoubi menjadi orang terakhir yang menemui ajalnya dengan guillotine pada 1977. Digunakan selama 189 tahun, guillotie secara resmi berakhir pada bulan September 1981.
Source | : | History |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR