“Mereka sebenarnya sangat bermanfaat di bidang pertanian karena mereka memakan hewan pengerat, dan serangga. Semua itu dianggap petani sebagai hama,” kata Ogada. Beberapa burung pemangsa Afrika yang mengalami penurunan populasi yang serius. Misalnya burung layang-layang ekor gunting, dikenal suka memangsa belalang perusak tanaman dan serangga terbang lainnya.
Para “pemulung” ini merupakan penghubung penting dalam pencegahan penyakit.
Burung bangkai tiba di bangkai beberapa jam setelah hewan tersebut mati, kata Newton. “Jika hewan tersebut terjangkit penyakit, burung bangkai akan memberantas penyakit tersebut sebelum menyebar.”
Penelitian telah mendukung hal ini, menunjukkan siklus konsekuensi dari atas ke bawah yang disebut kaskade trofik. Di India, obat diklofenak, yang diberikan kepada ternak sebagai anti-inflamasi, hanya bisa memusnahkan burung bangkai. Burung yang mengais-ngais ternak yang mati menelan obat tersebut, sehingga menyebabkan gagal ginjal.
Akibatnya, bangkai anjing menumpuk, meningkatkan populasi anjing liar dan memperburuk kualitas air. Pada akhirnya, bisa menyebabkan peningkatan rabies dan penyakit lainnya.
Ogada khawatir jika hal yang sama akan terjadi di Afrika. India kini menjadi negara dengan kasus rabies tertinggi di dunia, yaitu 18.000 hingga 20.000 kasus per tahun
Di Afrika, solusinya mencakup pelarangan penggunaan racun, perubahan desain saluran listrik, dan penambahan lahan di kawasan lindung. Semua perubahan yang telah memulihkan populasi burung pemangsa di belahan dunia lain. Saat ini hanya 14 persen daratan Afrika yang diperuntukkan bagi satwa liar.
“Anda dapat melihat ke belakang dan melihat perkembangan di Amerika dan Eropa. Di sana terjadi penurunan populasi burung yang sangat parah yang diikuti dengan upaya pelestarian sejak tahun 70an. Dan sekarang Anda melihat lebih banyak burung,” kata Ogada.
“Di sini, sayangnya, kita masih berada dalam tren menurun. Mudah-mudahan kita bisa mulai membalikkan keadaan, tapi kita belum sampai pada tahap itu.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR