Penting untuk dicatat bahwa salah satu pihak dapat memutuskan perceraian, meskipun pasangannya tidak menerima permohonan cerai.
Satu-satunya hal yang penting adalah kenyataan bahwa pasangan tersebut ingin bercerai dan dengan demikian hubungan yang terjalin secara hukum berakhir.
Seringkali, pernyataan publik atau pernyataan tertulis sudah cukup untuk menyatakan berakhirnya sebuah pernikahan. Tidak diperlukan proses hukum atau keputusan pengadilan.
Dalam beberapa kasus, terutama jika menyangkut properti dan aset, mungkin diperlukan dokumentasi atau penyelesaian lebih lanjut, namun kurangnya prosedur hukum yang rumit membuat perceraian Romawi relatif tidak rumit.
Beberapa alasan dapat menyebabkan perceraian di sejarah Romawi kuno. Perselingkuhan, kemandulan, atau sekadar keinginan untuk memasuki pernikahan yang lebih menguntungkan bisa menjadi alasannya.
Laki-laki mempunyai keunggulan dalam mengajukan perceraian, namun perempuan juga mempunyai hak untuk berpisah dari suaminya, terutama jika ada alasan yang dapat dibenarkan.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kasus Cicero, orator Romawi, yang menceraikan istrinya bernama Terentia setelah lama menikah. Dia memutuskan untuk bercerai dengan alasan ketidakjujuran finansial.
Secara ekonomi, kekhawatiran utama seputar perceraian adalah mahar. Semula diberikan kepada mempelai laki-laki pada awal perkawinan, mahar tersebut diharapkan dikembalikan kepada istri atau keluarganya setelah putusnya perkawinan.
Namun, hal ini tidak selalu terjadi tanpa perselisihan, sehingga terkadang menimbulkan perselisihan. Secara sosial, meskipun perceraian tidak seperti yang terjadi di beberapa budaya lain, perceraian bukan berarti tidak mempunyai dampak buruk.
Seorang perempuan yang ingin bercerai, terutama tanpa alasan kuat, bisa menghadapi kecaman sosial. Selain itu, meskipun laki-laki lebih sedikit mendapat penilaian dari masyarakat, perceraian yang berulang kali dapat merusak reputasi laki-laki, sehingga menimbulkan keraguan terhadap keandalan dan karakternya.
Permohonan cerai juga dapat diajukan dari ayah istri jika dialah yang mempunyai hak asuh sah atas istrinya dan bukan suaminya. Dengan cara ini, keluarga pihak perempuan dapat mengontrol mahar yang dibawa ke rumah pihak laki-laki dan mendapatkan kembali aset apa pun.
Akan tetapi, sering kali mantan suami mengklaim hak atas mahar tersebut, dengan alasan bahwa sang istri tidak setia kepadanya.
Dalam kasus perceraian dalam sejarah Romawi kuno, anak-anak dari hubungan tersebut sebagian besar tinggal bersama ayah mereka. Namun, tak menutup kemungkinan juga bisa tinggal bersama ibunya, atas kesepakatan bersama.
Contoh dari situasi seperti ini adalah putri Oktavianus Augustus, Julia dan ibunya Scribonia. Kaisar Augustus, setelah menikah dengan Livia, mengasuh putrinya dan mengambil anak Scribonia.
Setelah Julia diasingkan oleh ayahnya ke pulau Pandateria karena perilaku korupnya, Scribonia menemaninya. Hal ini membuktikan bahwa meski telah berpisah secara sah, hubungan antara anak perempuan dan ibu tetap terjaga dalam sejarah Romawi kuno.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR