Nationalgeographic.co.id—Perceraian di sejarah Romawi kuno merupakan sebuah praktik yang diakui secara sosial dan hukum. Hal ini berbeda dari banyak peradaban kuno lainnya dalam hal kemudahan dan aksesibilitasnya.
Dalam catatan sejarah Romawi kuno, pernikahan di zaman Romawi kuno merupakan interaksi kompleks antara norma-norma masyarakat, praktik budaya, dan mandat hukum.
Bagi orang Romawi, perkawinan lebih dari sekadar hubungan pribadi atau kecenderungan romantis. Pernikahan dilakukan untuk stabilitas sosial, aliansi politik, dan kemajuan ekonomi.
Pendekatan pragmatis orang Romawi terhadap pernikahan, yang menganggap persatuan sebagai kontrak ekonomi dan sosial, juga mencakup perspektif mereka mengenai perceraian.
Jika suatu perkawinan gagal memenuhi tujuan sosial atau pribadinya, perkawinan tersebut dapat dibubarkan.
Secara hukum, prosesnya mudah. Pernikahan Romawi didasarkan pada persetujuan bersama. Demikian pula, perceraian hanya memerlukan niat salah satu atau kedua belah pihak untuk mengakhiri perkawinan dalam sejarah Romawi kuno.
Perceraian di zaman Romawi telah berkembang sepanjang sejarah. Dengan berkembangnya negara Romawi, norma hukum yang mengatur masalah perkawinan pun mengalami transformasi.
Dengan berakhirnya republik, adat istiadat Romawi berubah dan hak untuk bercerai juga diberikan kepada perempuan tepatnya pada abad ke-2 SM. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh semakin intensifnya kancah politik Roma dan perebutan posisi di kalangan strata sosial atas.
Sejak awal, laki-laki berhak bercerai. Meskipun perceraian secara resmi diperuntukkan bagi suami hanya jika terjadi kesalahan perkawinan yang serius di pihak pasangannya.
Laki-laki sering kali memutuskan untuk menceraikan pasangannya jika terjadi perzinahan, ketidaksuburan, atau bahkan soal konsumsi anggur. Keputusan untuk bercerai bisa diambil kapan saja.
Membentuk aliansi politik melalui pernikahan sudah menjadi hal yang populer. Perceraian, pada gilirannya, dilakukan ketika pasangan baru yang 'disukai' muncul di kancah politik. Dalam hal ini, pernikahan yang baru bisa lebih menjamin keuntungan untuk mendapatkan hak istimewa di dunia Romawi dengan menghubungkan dua keluarga.
Salah satu alasan utama banyak perceraian adalah kenyataan bahwa pasangannya tidak ingin lagi menikah. Ketika seorang laki-laki atau istri tidak melihat pasangannya sebagai istri atau suami dan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menikah, maka hubungan tersebut otomatis putus.
Penting untuk dicatat bahwa salah satu pihak dapat memutuskan perceraian, meskipun pasangannya tidak menerima permohonan cerai.
Satu-satunya hal yang penting adalah kenyataan bahwa pasangan tersebut ingin bercerai dan dengan demikian hubungan yang terjalin secara hukum berakhir.
Seringkali, pernyataan publik atau pernyataan tertulis sudah cukup untuk menyatakan berakhirnya sebuah pernikahan. Tidak diperlukan proses hukum atau keputusan pengadilan.
Dalam beberapa kasus, terutama jika menyangkut properti dan aset, mungkin diperlukan dokumentasi atau penyelesaian lebih lanjut, namun kurangnya prosedur hukum yang rumit membuat perceraian Romawi relatif tidak rumit.
Beberapa alasan dapat menyebabkan perceraian di sejarah Romawi kuno. Perselingkuhan, kemandulan, atau sekadar keinginan untuk memasuki pernikahan yang lebih menguntungkan bisa menjadi alasannya.
Laki-laki mempunyai keunggulan dalam mengajukan perceraian, namun perempuan juga mempunyai hak untuk berpisah dari suaminya, terutama jika ada alasan yang dapat dibenarkan.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah kasus Cicero, orator Romawi, yang menceraikan istrinya bernama Terentia setelah lama menikah. Dia memutuskan untuk bercerai dengan alasan ketidakjujuran finansial.
Secara ekonomi, kekhawatiran utama seputar perceraian adalah mahar. Semula diberikan kepada mempelai laki-laki pada awal perkawinan, mahar tersebut diharapkan dikembalikan kepada istri atau keluarganya setelah putusnya perkawinan.
Namun, hal ini tidak selalu terjadi tanpa perselisihan, sehingga terkadang menimbulkan perselisihan. Secara sosial, meskipun perceraian tidak seperti yang terjadi di beberapa budaya lain, perceraian bukan berarti tidak mempunyai dampak buruk.
Seorang perempuan yang ingin bercerai, terutama tanpa alasan kuat, bisa menghadapi kecaman sosial. Selain itu, meskipun laki-laki lebih sedikit mendapat penilaian dari masyarakat, perceraian yang berulang kali dapat merusak reputasi laki-laki, sehingga menimbulkan keraguan terhadap keandalan dan karakternya.
Permohonan cerai juga dapat diajukan dari ayah istri jika dialah yang mempunyai hak asuh sah atas istrinya dan bukan suaminya. Dengan cara ini, keluarga pihak perempuan dapat mengontrol mahar yang dibawa ke rumah pihak laki-laki dan mendapatkan kembali aset apa pun.
Akan tetapi, sering kali mantan suami mengklaim hak atas mahar tersebut, dengan alasan bahwa sang istri tidak setia kepadanya.
Dalam kasus perceraian dalam sejarah Romawi kuno, anak-anak dari hubungan tersebut sebagian besar tinggal bersama ayah mereka. Namun, tak menutup kemungkinan juga bisa tinggal bersama ibunya, atas kesepakatan bersama.
Contoh dari situasi seperti ini adalah putri Oktavianus Augustus, Julia dan ibunya Scribonia. Kaisar Augustus, setelah menikah dengan Livia, mengasuh putrinya dan mengambil anak Scribonia.
Setelah Julia diasingkan oleh ayahnya ke pulau Pandateria karena perilaku korupnya, Scribonia menemaninya. Hal ini membuktikan bahwa meski telah berpisah secara sah, hubungan antara anak perempuan dan ibu tetap terjaga dalam sejarah Romawi kuno.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR