Marcus Aurelius, dalam menanggapi krisis ini, mengambil beberapa langkah untuk mengatasi situasi tersebut.
Dia merekrut budak dan gladiator ke dalam tentara untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja. Untuk meringankan tekanan ekonomi, ia melelang harta milik kekaisaran di Forum Trajan.
Kepemimpinannya pada periode ini ditandai dengan upaya menjaga stabilitas dan ketertiban, bahkan ketika kekaisaran menghadapi salah satu tantangan paling signifikan.
Bagaimana Filosofi Stoikisme Membantunya?
Stoikisme didirikan di Athena oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Dalam jalan menuju kebahagiaan sejati, dalam hal ini mengajarkan bahwa kehidupan yang baik, sesuai dengan akal dan alam.
Bagi Marcus, filosofi ini bukan sekadar teori melainkan panduan praktis dalam kehidupan dan pemerintahan.
Inti dari filsafat Stoa adalah konsep 'logos', 'apatheia', dan 'eudaimonia'. Logos mengacu pada alasan universal atau struktur rasional alam semesta.
Marcus percaya akan adanya tatanan rasional dalam kosmos, dimana manusia harus menyelaraskan dirinya. Ia memandang alam semesta sebagai organisme yang segala sesuatunya saling berhubungan, dan tugas setiap individu adalah memainkan perannya.
Apatheia, atau kebebasan dari nafsu, adalah landasan lain dari Stoikisme. Hal ini tidak berarti tidak adanya emosi, melainkan menunjukkan kebebasan dari emosi yang tidak rasional dan merusak.
Marcus Aurelius memperjuangkan keadaan ini, berusaha menanggapi peristiwa dengan rasional dan tenang, terlepas dari perasaan pribadi.
Eudaimonia, yang berarti keadaan semangat yang baik atau berkembang adalah tujuan akhir dalam Stoicisme.
Bagi Marcus, mencapai eudaimonia berarti hidup selaras dengan akal dan kebajikan, mewujudkan kualitas kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan.
Tulisan-tulisannya dalam 'Meditasi' mencerminkan cita-cita, menawarkan wawasan tentang perjuangan dan pemikiran pribadinya ketika ia berusaha untuk hidup dengan prinsip-prinsip ini.
Pengadopsian Stoikisme oleh Marcus Aurelius juga membentuk pendekatannya terhadap pemerintahan. Dia memandang perannya sebagai kaisar sebagai kesempatan untuk mewujudkan kebajikan Stoa, khususnya keadilan dan pelayanan kepada rakyat.
Pemerintahannya ditandai dengan upaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya dan mengelola kekaisaran dengan adil dan kompeten.
Terlepas dari tantangan pada masanya, termasuk peperangan dan Wabah Antonine, ia tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip ini, berupaya menyeimbangkan tanggung jawabnya sebagai penguasa dengan pencarian kebijaksanaan filosofis.
Berbeda dengan banyak pendahulunya, Marcus Aurelius tidak terpikat oleh pengaruh kekuasaan namun memandang perannya sebagai pengabdian kepada negara.
Perspektif ini tercermin dalam upayanya memperbaiki sistem hukum, menjamin keadilan dan melindungi kelompok rentan, seperti budak dan anak yatim piatu.
Dia juga mengurangi permainan dan tontonan yang biasa dilakukan kaisar sebelumnya, mengalihkan sumber daya ke proyek publik yang lebih bermanfaat.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR