Nationalgeographic.co.id—Marcus Aurelius adalah Kaisar Romawi kuno yang dikenal sebagai filsuf. Dia sangat cakap dalam militer dan pemikiran filosofis yang mendalam selama masa jabatannya dalam sejarah Romawi kuno. Dalam pemerintahannya, dia juga selalu menganut stoikisme.
Sebagai Kaisar, ia menavigasi Kekaisaran Romawi yang luas melalui masa-masa perselisihan dan wabah penyakit, sambil menuliskan pemikiran yang bergema selama ribuan tahun.
Marcus Aurelius, lahir pada tanggal 26 April 121 M di Roma, memulai perjalanan hidup yang luar biasa sejak awal. Kelahirannya dalam keluarga bangsawan menempatkannya di dunia yang penuh hak istimewa dan kekuasaan, seperti dikutip History Skills.
Ayahnya, Marcus Annius Verus, meninggal ketika Marcus baru berusia beberapa tahun, meninggalkan dia dalam perawatan kakeknya.
Kehilangan awal ini membawa rasa kekhidmatan pada masa kecilnya, namun juga membuka pintu bagi Kaisar Hadrian. Dia memperhatikan potensi Marcus muda dan memastikan dia diangkat menjadi ordo Berkuda pada tahun 136 M.
Pendidikannya menyeluruh dan beragam, perpaduan antara pelatihan fisik dan studi akademis. Marcus diajar dalam sastra Latin dan Yunani, belajar dari guru terkenal seperti Herodes Atticus dan Marcus Cornelius Fronto.
Namun, yang membedakan Marcus adalah ketertarikan awalnya pada filsafat, khususnya Stoikisme. Minat ini muncul sekitar usia 12 tahun, menandai awal dari pencarian kebijaksanaan filosofis seumur hidup.
Bagaimana Marcus Aurelius menjadi Kaisar?
Dalam peristiwa penting, penerus Hadrian, Antoninus Pius, mengadopsi Marcus pada tahun 138 M.
Setelah diadopsi pada tahun 138 M oleh Kaisar Antoninus Pius, Marcus dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Dia diberi penghargaan dan tanggung jawab secara bertahap, memastikan kelancaran transisi kekuasaan ketika saatnya tiba dalam sejarah Romawi kuno.
Pada tahun 140 M, ia diangkat menjadi konsul, sebuah langkah penting dalam karier politiknya. Kemudian, pada tahun 145 M, ia menikahi Faustina Muda, yang semakin memperkuat posisinya dalam keluarga kekaisaran.
Antoninus Pius melibatkannya dalam administrasi kekaisaran, memberinya wawasan tentang cara kerja kekaisaran Romawi kuno.
Periode ini sangat penting dalam membentuk pemahaman Marcus tentang pemerintahan dan filosofinya terhadap pemerintahan.
Prinsip-prinsip yang menekankan tugas, disiplin, dan kesejahteraan rakyat, diasah selama tahun-tahun ini, sehingga memengaruhi keputusannya di kemudian hari sebagai kaisar.
Pada tahun 161 M, kematian Antoninus Pius membuka jalan bagi kenaikan takhta Marcus. Dia bersikeras agar saudara angkatnya, Lucius Verus, diangkat menjadi rekan kaisar, sebuah keputusan yang menunjukkan komitmennya terhadap kekuasaan dan tanggung jawab bersama.
Hal ini adalah masa yang relatif damai bagi Kekaisaran Romawi, namun terganggu oleh konflik militer dan Wabah Antonine.
Wabah Antonine Hancurkan Kekaisaran Romawi
Wabah Antonine, sebuah epidemi yang menghancurkan, melanda Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Marcus Aurelius sekitar tahun 165 M, dan terus berlanjut hingga sekitar tahun 180 M.
Dikira penyakit cacar atau campak, wabah ini dibawa kembali ke Roma oleh tentara yang kembali dari kampanye di Timur Dekat.
Dampaknya sangat dahsyat dan perkiraan menunjukkan bahwa pada puncaknya, wabah ini merenggut nyawa hingga 2.000 orang per hari di Roma saja, dan menghancurkan tentara Romawi.
Wabah ini terjadi bersamaan dengan periode konflik militer, terutama Perang Marcomannic, yang mempersulit respons kekaisaran terhadap krisis militer dan kesehatan.
Wabah ini tidak hanya menyebabkan kematian yang luas tetapi juga menyebabkan kekurangan tenaga kerja yang parah di seluruh kekaisaran, sehingga berdampak pada pertanian, industri, dan militer.
Dampak ekonominya sangat besar, seiring berkurangnya angkatan kerja dan melonjaknya biaya tenaga kerja.
Marcus Aurelius, dalam menanggapi krisis ini, mengambil beberapa langkah untuk mengatasi situasi tersebut.
Dia merekrut budak dan gladiator ke dalam tentara untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja. Untuk meringankan tekanan ekonomi, ia melelang harta milik kekaisaran di Forum Trajan.
Kepemimpinannya pada periode ini ditandai dengan upaya menjaga stabilitas dan ketertiban, bahkan ketika kekaisaran menghadapi salah satu tantangan paling signifikan.
Bagaimana Filosofi Stoikisme Membantunya?
Stoikisme didirikan di Athena oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Dalam jalan menuju kebahagiaan sejati, dalam hal ini mengajarkan bahwa kehidupan yang baik, sesuai dengan akal dan alam.
Bagi Marcus, filosofi ini bukan sekadar teori melainkan panduan praktis dalam kehidupan dan pemerintahan.
Inti dari filsafat Stoa adalah konsep 'logos', 'apatheia', dan 'eudaimonia'. Logos mengacu pada alasan universal atau struktur rasional alam semesta.
Marcus percaya akan adanya tatanan rasional dalam kosmos, dimana manusia harus menyelaraskan dirinya. Ia memandang alam semesta sebagai organisme yang segala sesuatunya saling berhubungan, dan tugas setiap individu adalah memainkan perannya.
Apatheia, atau kebebasan dari nafsu, adalah landasan lain dari Stoikisme. Hal ini tidak berarti tidak adanya emosi, melainkan menunjukkan kebebasan dari emosi yang tidak rasional dan merusak.
Marcus Aurelius memperjuangkan keadaan ini, berusaha menanggapi peristiwa dengan rasional dan tenang, terlepas dari perasaan pribadi.
Eudaimonia, yang berarti keadaan semangat yang baik atau berkembang adalah tujuan akhir dalam Stoicisme.
Bagi Marcus, mencapai eudaimonia berarti hidup selaras dengan akal dan kebajikan, mewujudkan kualitas kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan.
Tulisan-tulisannya dalam 'Meditasi' mencerminkan cita-cita, menawarkan wawasan tentang perjuangan dan pemikiran pribadinya ketika ia berusaha untuk hidup dengan prinsip-prinsip ini.
Pengadopsian Stoikisme oleh Marcus Aurelius juga membentuk pendekatannya terhadap pemerintahan. Dia memandang perannya sebagai kaisar sebagai kesempatan untuk mewujudkan kebajikan Stoa, khususnya keadilan dan pelayanan kepada rakyat.
Pemerintahannya ditandai dengan upaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya dan mengelola kekaisaran dengan adil dan kompeten.
Terlepas dari tantangan pada masanya, termasuk peperangan dan Wabah Antonine, ia tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip ini, berupaya menyeimbangkan tanggung jawabnya sebagai penguasa dengan pencarian kebijaksanaan filosofis.
Berbeda dengan banyak pendahulunya, Marcus Aurelius tidak terpikat oleh pengaruh kekuasaan namun memandang perannya sebagai pengabdian kepada negara.
Perspektif ini tercermin dalam upayanya memperbaiki sistem hukum, menjamin keadilan dan melindungi kelompok rentan, seperti budak dan anak yatim piatu.
Dia juga mengurangi permainan dan tontonan yang biasa dilakukan kaisar sebelumnya, mengalihkan sumber daya ke proyek publik yang lebih bermanfaat.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR