Nationalgeographic.co.id—Orange Peel Theory menjadi salah satu tren hubungan di linimasa media sosial TikTok sejak beberapa minggu terakhir. Tren ini mengharuskan pasangan dari pengguna media sosial—baik kekasih, suami, maupun istri—untuk mengupas sebuah jeruk.
Asumsi dari tren Orange Peel Theory adalah apabila seorang pasangan mau mengupaskan jeruk dan menyajikannya, maka rasa cinta yang hadir dianggap nyata. Sebaliknya, seseorang dianggap memiliki rasa cinta yang kurang kuat jika menolak untuk mengupas jeruk.
Meski tantangan ini terlihat simpel, sebagian warganet menggunakan Orange Peel Theory untuk menilai apakah pasangan mereka mau melakukan hal sederhana tanpa diminta. Umumnya, tes ini banyak dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki yang menjadi pasangannya.
Namun pertanyaannya kini adalah apakah permintaan sesederhana mengupas sebuah jeruk menentukan besarnya kasih sayang antar pasangan?
Melansir dari Vox, psikolog dari Universitas Northwestern Alexandra Solomon berpendapat bahwa sebuah hubungan tidak bisa ditentukan dari apa yang seorang pasangan lakukan dan tidak lakukan terhadap sebuah jeruk. Akan tetapi, Orange Peel Theory bisa melihat hal yang lebih dalam dari itu, misalnya keinginan dan ketakutan dalam sebuah hubungan.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa pertanyaan mendalam di balik Orange Peel Theory adalah tentang kesediaan seseorang untuk berada di sisi pasangannya serta seberapa jauh seseorang ingin atau mau merawat pasangannya.
"Saya menyarankan bahwa para pasangan bisa berbicara satu sama lain tentang keinginan mereka daripada memasang sebuah rangkaian uji coba. Hal yang pasti adalah melakukan tes yang dipublikasikan risikonya adalah rasa malu," ujar Solomon.
Tes Hubungan Manusia Tak Punya Landasan Saintifik
Psikolog yang juga dikenal sebagai ahli hubungan tersebut juga menambahkan bahwa tes-tes hubungan seperti Orange Peel Theory dan tes serupa seperti Name a Woman (terj. Sebutkan Nama Seorang Perempuan) tidak memiliki landasan saintifik yang bisa membuktikan tingkat hubungan di dalam pasangan.
Solomon menggunakan hasil penelitian John Gottman, psikolog sekaligus founder dari Gottman Institute, terkait dengan indikator sebuah hubungan manusia.
Menurutnya, pasangan yang bahagia biasanya memiliki "peta cinta"— visualisasi yang menunjukkan hal-hal kecil dari seorang pasangan sebagai fondasi pertemanan dan keintiman—yang memiliki dinamika, terinci, dan terinternalisasi.
Dari sanalah, seorang bisa tahu apakah yang dikhawatirkan maupun yang tengah disukai pasangannya. Bahkan, hal-hal sesimpel makanan favorit hingga hal-hal kesukaannya bisa menjadi sesuatu yang menguatkan isi "peta cinta".
"Adanya peta cinta yang terinci dan kaya dari pasangan Anda menunjukkan sebuah hubungan yang sehat, bahagia, dan berkembang. Jadi tes-tes ini bisa menjadi pertanyaan untuk menjawab posisi seseorang dalam peta cinta, apakah dia menjadi orang yang pertama dalam pikiran, dan apakah dia terpusat dalam cinta pasangannya," tambahnya.
Tak hanya untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, tes-tes sejenis Orange Peel Theory juga menjawab kecenderungan perempuan yang ingin pasangannya membaca pikiran mereka saat membutuhkan sesuatu. Solomon menjelaskan hal ini ada kaitannya dengan kebiasaan perempuan dalam masyarakat.
Dalam realitas masyarakat, perempuan biasanya disosialisasikan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Hal inilah yang membuat para perempuan ragu untuk menyampaikan keinginan mereka terhadap suatu hal kepada pasangan mereka, sebagai akibat rasa tidak nyaman dan stigma yang muncul dari tindakan tersebut.
Kecenderungan inilah yang membuat para laki-laki yang berada dalam sebuah hubungan seringkali bingung jika harus mengantisipasi kebutuhan orang lain, terutama perempuan, tanpa permintaan. Padahal, ada banyak cara orang lain menunjukkan bahwa mereka peduli dengan orang lain misalnya dengan meluangkan waktu untuk berbicara di saat situasi genting.
"Saya ingin orang-orang memiliki perspektif yang luas tentang cara-cara agar seseorang bisa dan mampu menunjukkan tindakan dengan pasangannya yang tidak hanya dirangkum atau direkam dari satu gestur dalam menunjukkan cinta mereka," tambah Solomon.
Tes hubungan seperti Orange Peel Theory tak hanya berpotensi memunculkan masalah internal pasangan ketika tantangan ini gagal. Akan tetapi, memunculkan juga masalah eksternal pasangan bila tes ini akhirnya sukses dan terpublikasi di media sosial.
Dengan daya tarik kecepatan ditambah konten dialog yang simpel dan menarik bagi pengguna media sosial, Orange Peel Theory memunculkan berbagai pertanyaan tentang motivasi pembuatan konten eksperimen hingga adanya validasi positif dari pengguna.
Alasan ini kembali lagi pada keinginan untuk memamerkan hubungan, terutama di media sosial. Hal ini memunculkan alasan-alasan yang lebih mendalam dari sekadar sensasi dopamin yang membuat seseorang lebih gembira dan suasana hatinya lebih baik.
"Boleh jadi seseorang dari sistem keluarga yang pernikahan orang tuanya tidak saling mendukung, hubungan [dengan kekasihnya] layak untuk dirayakan dan dipamerkan. Atau bisa saja seseorang yang kurang perhatian dari orangtuanya, dan memiliki pasangan yang mau mengupas jeruk, itu seperti sebuah pencapaian atau pemulihan dari luka lama," jelas Solomon.
Pada akhirnya, Solomon menegaskan bahwa tidak ada tes hubungan yang bisa menentukan apakah seseorang sudah menjadi yang utama dari pasangannya. Tak hanya itu, mengakhiri hubungan hanya karena tantangan berdurasi kurang lebih dua menit bukanlah solusi yang baik, tapi mengajarkan seseorang untuk mencintai pasangannya bisa jadi alternatif yang aman.
Source | : | Vox,vox.com |
Penulis | : | Laurensia Felise |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR