Nationalgeographic.co.id—Taufik tertegun melihat keindahan alam Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang suatu pagi bulan Desember itu.
Semalam, dia baru mendarat di Bandar Udara Minangkabau dari Aceh bersama fotografer Muhammad Iqbal.
Pria bernama lengkap Taufik Al Mubarak itu bercerita bahwa keindahan Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang tidak kalah dari pemandangan di luar negeri.
Dia merujuk Selandia Baru dan Swiss sebagai pengibaratan. Keunikan lainnya, nagari ini menjadi desa dengan nama terpanjang di Indonesia.
"Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang tidak hanya memiliki nama yang lumayan panjang dibandingkan nama desa lain di Indonesia," jelas Taufik di Bincang Redaksi-64 Edisi Khusus Desa Budaya bertajuk Berkah Berlimpah di Tanah Surga pada 31 Januari 2024.
"Nagari ini menyimpan potensi alam berupa berkah lahan yang cukup subur. Hampir semua tanaman dan tumbuhan dapat tumbuh di sini," tambahnya.
"Alam yang indah, sumber daya yang berlimpah, berpadu dengan warga nagari yang ramah adalah kunci," kesan Iqbal. "Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang di lereng Gunung Sago benar-benar secuil 'tanah surga' untuk Nusantara."
Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang terletak di lereng Gunung Sago. Secara administratif berada di dalam Kecamata Luak, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatra Barat.
Nagari ini dibagi menjadi enam jorong (dusun) yakni, Jorong Sikabu-kabu, Jorong Lakuk Dama, Jorong Bukik, Kanduang, Jorong Tanjung Haro Utara, Jorong Tanjung Haro Selatan, dan Jorong Padang Panjang.
Kunjungan Taufik dan Iqbal merupakan penugasan dari National Geographic Indonesia untuk Majalah Edisi Khusus Desa Budaya yang terbit bersama edisi Januari 2024. "Ini adalah pertama kalinya saya ke Sumbar," kata Taufik.
Secara etimologi, Tanjung Haro berarti hamparan tanjung yang ditumbuhi pohon ara atau aro (genus Ficus).
Sikabu-kabu adalah nama pohon besar tua yang kini sudah tidak bisa dijumpai lagi. Sedangkan Padang Panjang berarti pedang yang panjang.
"Kolam susu" Koes Plus
Mayoritas penduduk Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang adalah bertani.
Mereka telah mengenal sistem pengairan sawah yang bentuknya bertingkat atau lenggek. Meski berada di lereng gunung, persawahan mereka adalah tadah hujan.
Hujan kerap mengaliri bagian teratas nagari. Dengan sistem agraria yang khas, jalur pengairan membasahi sawah dari tingkat tertinggi. Hal ini membuat sawah terbebas dari kekeringan.
Dalam perrjalanan Taufik dan Iqbal mengitari nagari, sepanjang tahun adalah masa panen dan bercocok tanam. "Artinya di sana itu tidak ada panen serentak. Dia ada yang panen sendiri-sendiri, tanam sendiri-sendiri. Panen padi itu sepanjang tanam," kesan Taufik.
Tidak hanya mengandalkan padi. Ketika berkeliling dari jorong ke jorong, Taufik dan Iqbal menjumpai aneka tanaman pangan yang dapat tumbuh seperti singkong, timun, semangka, melon, kakao, dan masih banyak lagi.
Aneka tanaman yang tumbuh subur ini bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setiap harinya di saat makanan lainnya belum panen. Misal, bagi warga yang baru saja menanam padi, mereka masih memiliki pasokan singkong, alih-alih membeli beras.
Selain itu singkong bukan hanya makanan alternatif, melainkan sudah menjadi tanaman utama. Inilah yang memantapkan masyarakat nagari dari ancaman kelaparan.
Pengelolaan yang diwariskan secara turun temurun memberi ketahanan pangan di Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang.
Salah satu warga menjelaskan kepada Taufik bahwa pernah ketika harga gabah anjlok, warga bersama-sama memulai menanam singkong.
Tidak jarang, warga beralih kembali makan nasi, dan singkong kembali menjadi alternatif yang selalu ada di dekat rumah.
"Singkong atau ubi itu menjadi bahan dasar kacumuih," kata Iqbal. "Kacimuih ini pembuatannya salah satu pangan lokal di sanayang menjadi santapan warga ketika acara-acara seperti festival."
Melimpahnya aneka makanan yang setiap saat bisa panen, membuat kebiasaan masyarakat mensyukuri berkat yang didapat. Masyarakat saling berbagi hasil panen, diolah, dan disantap bersama baik di rumah salah satu warga maupun dalam kegiatan tradisi.
Menyantap bersama ini disebut sebagai makan basamo, di mana aneka makanan dari hasil sawah masing-masing tersaji untuk dimakan semua warga.
Sistem pertanian ini sudah lama berkembang oleh masyarakat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu. Sawah mereka dipegang oleh pemangku adat. Pemahaman tata kelola alam dan pertanian ini diwariskan dari leluhur yang dipegang teguh warga.
Keajaiban tata kelola pertanian dan pangan inilah yang membuat Taufik terkagum-kagum dengan nagari ini.
Dalam tulisannya di Majalah Edisi Khusus Desa Budaya, ia mendeskripsikan Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang dengan mengutip syair Koes Plus berjudul Kolam Susu.
"Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman," tulisnya.
Penyakit kebersamaan tradisi itu bernama egoisme
Belakangan, kondisi Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang meluntur akan mewarisi tradisi. Rasa egoisme tumbuh. Sawah diganggu oleh tangan bandel yang memasang pipa paralon di jalur pengairan. Pipa paralon ini mengalirkan air langsung ke tingkat paling bawah tanpa membasahi sawah di bagian atas.
"Akibatnya, sawah di tingkat paling tinggi itu kekeringan," singkap Taufik. "Mereka lebih memilih jalan pintas, karena kalau menunggu airnya dari sawah paling atas itu sangat lama ke bawah. Sementara mereka pengin cepat-cepat lahannya ditanami. Itu jadi masalah sosial sekarang."
"Saya pernah lihat sawah sawo. Itu paritnya, isinya bukan air, tetapi pipa paralon!" tutur Taufik. "Saya bandingkan dengan lahan di samping parit, kering!"
Oleh karena itu, masyarakat Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang mengadakan Festival Legusa. Selain sebagai daya tarik pariwsata karena nagari ini dikenal sebagai desa wisata dan budaya, Festival Legusa menjadi ajang mengembalikan kesadaran kebersamaan antarwarga dan berkaca kembali pada tradisi.
Festival ini berlangsung pada 23-26 November 2023. Taufik dan Iqbal tidak merasakan Festival Legusa, namun kemeriahannya masih terasa saat tiba. Festival ini menilik kembali ketahanan pangan yang sebenarnya telah diajarkan oleh leluhur, termasuk dengan menikmati makan basamo.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR