Nationalgeographic.co.id—Garam, bahan pelengkap kelezatan makanan kita, ternyata bisa membahayakan keberlangsungan alam. Semua itu akibat dari ulah tangan kita yang begitu bergantung pada garam.
Kondisinya semakin buruk. Aktivitas pembangunan dan permintaan garam yang semakin tinggi mengganggu kestabilan siklus alami planet ini dalam persebaran garam dunia. Kelestarian ekosistem bisa sangat terancam, jika produksi dan konsumsi garam dunia tidak diatur.
Sekelompok peneliti pada Oktober 2023 menerbitkan makalah tentang isu garam dan lingkungan ini di jurnal Nature Review Earth & Environment. Makalah bertajuk "The anthropogenic salt cycle" ini mengungkapkan bahwa aktivitas manusia membuat "siklus garam" alami bergerak semakin cepat.
Lebih jelasnya, garam terbawa ke seluruh permukaan bumi dari waktu ke waktu berkat proses geologi dan hidrologi. Tim penelitian mengungkapkan bahwa siklus ini semakin cepat, ketika aktivitas pembangunan manusia seperti pertambangan dan pembangunan lahan yang masif.
Kecepatan siklus ini, oleh tim penelitian disebut sebagai "siklus garam antropogenik", seperti judul makalah mereka. Penelitian ini mengungkapkan fenomena percepatan siklus ini terjadi secara global dan saling berhubungan dengan aktivitas manusia terhadap kelestarian alam.
"Jika Anda menganggap planet ini sebagai organisme hidup, maka ketika Anda mengumpulkan begitu banyak garam, hal itu dapat mempengaruhi fungsi organ-organ vital atau ekosistem," kata Sujay Kaushal, Profesor Geologi di University of Maryland yang menjadi penulis pertama makalah.
“Ketika orang memikirkan garam, mereka cenderung memikirkan natrium klorida, namun penelitian kami selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa kita telah mengganggu jenis garam lain, termasuk garam yang terkait dengan batu kapur, gipsum, dan kalsium sulfat,” lanjut Kaushal di Science Daily.
Alam yang kian asin
Berantakannya siklus garam akibat ulah manusia ini membuat udara, tanah, dan air tawar di bumi menjadi lebih asin. Para peneliti mengkhawatirkan kondisi ini jika tren kekacauan ini tidak dihentikan karena bisa menimbulkan ancaman nyata.
“Menghilangkan garam dari air membutuhkan banyak energi dan mahal, dan produk sampingan air garam yang dihasilkan lebih asin daripada air laut dan tidak mudah dibuang," terang Kaushal.
Sebelum makalah ini ditulis, berbagai makalah studi kasus memberikan laporan adanya perubahan keasinan di beberapa tempat di seluruh dunia. Dalam makalah ini, para peneliti mengamati bahwa perubahan rasa asin di lingkungan disebabkan siklus garam yang berubah dengan cepat.
Para peneliti mengamati berbagai ion garam yang ditemukan di bawah tanah dan permukaan air. Di dalam setiap garam, terdapat senyawa ion berupa kation (muatan positif) dan anion (muatan negatif), serta lainnya seperti ion kalsium, magnesium, kalium, dan sulfat.
Siklus garam yang semakin cepat dapat melepaskan ion-ion ini dalam dosis lebih tinggi dari biasanya. Pelepasan ion ini dapat menyebabkan masalah lingkungan dengan peningkatan ion. Peningkatan ion di alam menyebabkan salinitas dan berkontribusi pada perubahan tingkat kimia.
Ancaman di mana-mana
Para peneliti menunjukkan bahwa salinasi yang disebabkan aktivitas manusia ini berdampak pada sekitar 2,5 miliar hektar tanah di seluruh dunia.
Para peneliti juga mencatat bahwa dalam 50 tahun terakhir, jumlah ion garam meningkat di sungai air tawar seiring dengan penggunaan dan produksi garam secara global nan masif. Tentunya, hal ini berdampak pada ekosistem perairan air tawar, termasuk spesies terancam.
Sementara di udara, ion garam juga ditemukan. Keberadaan garam di udara disebabkan oleh danau yang mengering di daratan yang memicu gumpalan debu garam menguap ke atmosfer.
Dampaknya bisa sangat berbahaya kepada kawasan bersalju. Garam yang turun di jalanan dapat menjadi aerosol yang dapat menghasilkan partikel natrium dan klorida. Jika menguap kembali ke udara dapat menyebabkan kekacauan cuaca.
Saipul Hamdi, Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN dalam makalah Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer pada 2013 mengungkapkan, peningkatan jumlah aerosol dapat memperpanjang waktu hidup awan lebih lama. Imbasnya, curah hujan akan semakin berkurang.
Salinisasi yang berantakan ini punya efek "bertingkat", terang Kaushal dan tim. Misalnya, debu garam bisa mempercepat pencairan salju di kawasan beriklim dingin. Dampaknya pun bisa berbahaya bagi masyarakat yang bergantung pada sumber air dari lelehan salju.
Pasalnya, ion garam dapat mengikat kontaminan di tanah dan sedimen, membentuk "campuran kimia" yang beredar di seantero lingkungan, serta menimbulkan efek merugikan. “Garam memiliki radius ionik yang kecil dan dapat terjepit di antara partikel-partikel tanah dengan sangat mudah,” ujar Kaushal.
Seruan serius
Masalah lingkungan dari siklus garam yang terganggu harus dipertimbangkan, kata Kaushal. Dari hasil temuan yang dipaparkan, risikonya bisa terjadi dalam jangka waktu pendek dan panjang, yang berperan penting dalam keselamatan masyarakat. Namun, di satu sisi, garam memang sangat dibutuhkan
“Ada risiko cedera jangka pendek, yang serius dan merupakan sesuatu yang perlu kita pikirkan, namun ada juga risiko jangka panjang berupa masalah kesehatan yang terkait dengan terlalu banyak garam dalam air kita,” kata Kaushal. “Ini tentang menemukan keseimbangan yang tepat.”
Oleh karena itu dalam penelitian, Kaushal dan rekan-rekan menyerukan prosedur "batas planet untuk konsumsi garam yang aman dan berkelanjutan". Cara yang ditawarkan ini harus dipertimbangkan sebagaimana urgensi negara-negara dunia untuk mengontrol tingkat karbon untuk membatasi perubahan iklim.
Source | : | sciencedaily,LAPAN |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR