Nationalgeographic.co.id—Dalam drama maupun film Korea bertema kerajaan, kita sering menyaksikan wanita mengenakan kain untuk menutupi kepala dan tubuh mereka. Kain yang disebut sseugae-chima–secara harfiah berarti tudung kepala–adalah bentuk pembatasan kaum wanita di era Dinasti Joseon. Namun, ini bukanlah satu-satunya.
Aturan sosial seperti “jarak antar gender” atau “nae-oe beop” merupakan norma-norma yang telah lama dipegang oleh masyarakat Korea, terutama selama periode Dinasti Joseon. Hal ini, menempatkan kebebasan wanita Joseon dalam belenggu.
Dalam tradisi Korea yang dipengaruhi oleh ajaran Konfusius, anak laki-laki dan perempuan dilarang untuk duduk bersama setelah mencapai usia tujuh tahun.
Tradisi tersebut membentuk sebuah kebiasaan dan sistem yang secara ketat mengatur atau melarang kontak antar jenis kelamin.
Larangan ini juga beriringan dengan “jalan tiga kepatuhan” atau “Sam-jong-ji-do”, sebuah konsep Konfusianisme yang menekankan tiga kewajiban utama bagi wanita. Prinsip-prinsip ini mencakup tunduk pada ayah sebelum menikah, mematuhi suami setelah menikah, dan mematuhi putra setelah kematian suami."
Menurut Profesor Shin Sang-soon, dilansir dari laman Gwangju News, aturan jarak antar gender merupakan aturan sosial tidak tertulis yang sangat efektif untuk membatasi kebebasan wanita selama Dinasti Joseon.
“Aturan menjaga jarak antar gender ini terus berlaku bahkan setelah Reformasi Kabo pada tahun 1894, yang menghapuskan perbedaan kelas antara yangban (kelas elit) dan rakyat jelata,” jelas Shin.
Pasca Reformasi Kabo, diizinkan bagi “wanita untuk menanggalkan selendang wanita mereka (sseugae-chima) yang digunakan untuk menutupi kepala dan tubuh bagian atas ketika keluar rumah, mirip dengan kerudung wanita Muslim.”
Ketimpangan Gender di Era Joseon
Shin menjelaskan, bahwa di era Joseon, laki-laki dan perempuan telah diperlakukan berbeda sejak masa anak-anak.
“Ketika seorang anak laki-laki lahir, ia dibaringkan di atas meja dan disuruh bermain dengan mainan batu giok, dan ketika seorang anak perempuan lahir, ia ditinggalkan di lantai dan disuruh bermain dengan genteng,” jelas Shin.
Ketika mereka tumbuh dewasa dan dipanggil oleh orang yang lebih tua, Shin menambahkan, “anak laki-laki harus menjawab dengan respon yang cepat dan tajam, tetapi anak perempuan harus menjawab dengan respon yang lambat dan lembut.”
Pendidikan yang mereka dapatkan juga berbeda. Pada usia lima tahun, anak laki-laki harus belajar angka dan empat arah; pada usia sembilan tahun, mereka diajari menghitung hari; dan pada usia sepuluh tahun, mereka dikirim untuk diajar oleh seorang guru.
Sedangkan untuk anak perempuan yang berusia sepuluh tahun, mereka tidak boleh keluar rumah tetapi harus belajar memintal, membudidayakan ulat sutera, menjahit, membuat pakaian, mempersiapkan upacara, dan lain-lain.
Perbedaan gender juga terlihat jelas dalam struktur rumah. Bangunan bagian dalam diperuntukkan bagi perempuan dan bangunan luar adalah tempat tinggal laki-laki.
Di antara kedua bangunan tersebut terdapat gerbang tengah, dan kecuali pada acara-acara tertentu, tidak ada pria yang diperbolehkan masuk ke dalam gerbang.
Kerabat yang boleh bertatap muka dengan perempuan hanya orang tua, saudara kandung, mertua, paman dan bibi dari pihak ayah dan ibu.
Ketika sudah menikah, pakaian untuk suami dan istri tidak boleh dicampur di rak. Dan ketika mereka berjalan bersama, sang pria harus berjalan di sisi kanan dan wanita di sisi kiri.
Wanita harus membatasi diri mereka sebisa mungkin untuk keluar rumah. Wanita kelas atas di era Dinasti Joseon hanya melakukan beberapa kali perjalanan keluar rumah selama hidup mereka.
Jika pada situasi yang mendesak dan mengharuskan keluar rumah, mereka harus menutupi wajah mereka dengan sseugae-chima atau menaiki tandu yang digotong oleh empat orang pria.
Menurut Shin, kesenjangan gender yang paling ekstrem selama era Joseon adalah larangan bagi seorang janda untuk menikah lagi.
“Sedangkan untuk pria, pernikahan kembali tidak hanya dimungkinkan setelah istri mereka meninggal, tetapi mereka diizinkan untuk memiliki selir bahkan ketika istri mereka masih hidup,” jelas Shin.
Tidak hanya itu, sang istri juga tidak boleh merasa cemburu terhadap selir-selirnya. Apabila istri kedapatan cemburu, maka sah bagi sang suami untuk menceraikannya.
Kelas rakyat jelata, pada umumnya, mengikuti adat istiadat sosial yang ditetapkan oleh kelas yangban. Namun terkait larangan menikah lagi bagi janda relatif agak lunak, masyarakat masih memaklumi jika ia menikah lagi.
Namun, bagi janda yangban, menikah lagi akan membuat anak laki-lakinya kehilangan jabatan di pemerintahan. Selama Dinasti Joseon, penolakan jabatan pemerintahan berarti pencabutan status yangban.
Selain hal di atas, suami juga sah menceraikan istrinya jika ia tidak taat kepada mertua, tidak melahirkan anak laki-laki, berzina, mengidap penyakit ganas, banyak bicara, dan mencuri.
Namun, ada tiga situasi di mana istri tidak boleh diceraikan. Pertama, adalah ketika tidak ada tempat bagi istri untuk pergi setelah perceraian.
Kemudian, seorang istri yang telah menjalani masa berkabung selama tiga tahun dengan suaminya untuk orang tuanya yang telah meninggal.
Dan terakhir, ketika mereka memulai kehidupan pernikahan dalam keadaan miskin tetapi kemudian menjadi kaya.
Apabila sang suami menceraikan sang istri tanpa mengindahkan aturan tersebut, maka ia akan mendapat hukuman, mulai dari kurungan penjara enam bulan, hingga 100 kali cambukan. Dalam kasus di mana istri mengidap penyakit ganas atau berzina, aturan ini tidak berlaku.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR