Nationalgeographic.co.id - Pemilihan umum (Pemilu) merupakan mekanisme penting dalam laju pemerintahan sistem demokrasi. Berbeda dengan monarki absolut yang digunakan oleh kerajaan dan kekaisaran dengan mewariskan pemimpin dari keturunan, Pemilu bisa menentukan pemimpin suatu negara dengan melibatkan masyarakat.
Dalam sejarah dunia, Pemilu sudah ada sejak Yunani kuno dan Kekaisaran Romawi--terutama di era republik. Kedua peradaban tersebut mengenal demokrasi. Bahkan, kata "demokrasi" sendiri berasal dari bahasa Yunani demokratia yang berarti "kekuasaan rakyat".
Pemilihan ala arisan melalui majelis
Del Dickson, profesor ilmu politik di University of San Diego di History mengungkapkan, "Masyarakat Yunani tidak menyelenggarakan pemilu seperti yang kita pikirkan, di mana kita memilih melalui surat suara atau pergi ke sekolah atau gereja untuk menyerahkan surat suara."
Syarat terlibat dalam pemilihan ini adalah laki-laki bebas. Perempuan dan budak tidak bisa ikut. Peraturan ini lazim dalam sejarah dunia kuno. Perkumpulan untuk menyampaikan suara ini ada di amfiteater kota.
Umumnya, orang-orang Yunani menentukan kandidat dengan hadir secara fisik. Di sinilah keterlibatan masyarakat sangat penting yang membuat Yunani memperkenalkan sistem republik. "Anda harus pergi dan berkumpul dengan warga lain dan Anda memutuskan perkara di hadapan Majelis pada saat itu juga," terang Dickson.
Mari tengok pada tatanan Athena. Mereka tidak benar-benar secara langsung memilih kandidat dari suara rakyat. Lebih lanjut, pengawas ditentukan oleh masing-masing suku untuk masuk ke dalam Dewan 500. Ada 10 suku di Athena yang masing-masing harus menyediakan 50 warganya untuk bertugas di Dewan 500 selama satu tahun.
Suku di Athena bukan berdasarkan darah atau etnis. Lembaga kesukuan ini berdasarkan wilayah geografis tempat tinggal dalam sejarah dunia kuno. Fungsinya Majelis Suku ini seperti senat atau DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Setiap warga negara-kota (polis) di Athena yang memenuhi syarat diberikan token. Token ini serupa nomor urut hari ini. Token tersebut dimasukkan ke dalam kleroterion, mesin khusus untuk pemilihan. Mesin ini akan menghasilkan kandidat dari setiap suku kepada dewan seperti undian, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
"Di Athena, bagaimanapun, tidak ada konsep profesionalisme bagi mereka yang berpartisipasi dalam politik," tulis Erin Crochetière dalam tesisnya bertajuk "Democracy and the lot: the lottery of public offices in classical Athens".
"Oleh karena itu diyakini secara luas bahwa setiap warga negara adalah kandidat yang dapat diterima untuk memegang jabatan publik," tulis Erin Crochetière, sejarawan peradaban kuno dalam tesisnya bertajuk "Democracy and the lot: the lottery of public offices in classical Athens".
Mereka memiliki Majelis yang ditetapkan oleh Dewan yang beranggotakan 500 orang. Perkumpulan ini adalah agenda harian Majelis. Pemungutan suara tidak hanya untuk menentukan pemimpin, tetapi juga saat merancang undang-undang dan kebijakan pemerintah.
Warga di Athena, dalam sejarah dunia kuno, sangat berhati-hati dengan sistem ini untuk menghindari kemungkinan kecurangan.
Ada beberapa posisi di Athena yang dipilih oleh Majelis, yang paling menonjol adalah jenderal militer. Setiap tahun, sepuluh jenderal dipilih melalui pemungutan suara sederhana yang disukai atau tidak disukai oleh Majelis secara penuh.
Sparta adalah kasus unik. Negara kota yang bukan demokrasi ini menerapkan beberapa unsur demokrasi. Misalnya, salah satu badan penguasa tertingginya adalah Dewan Tetua. Dewan ini terdiri dari dua raja dan 28 pejabat terpilih yang berusia di atas 60 dengan durasi menjabat seumur hidup.
Sistem ini mungkin adalah pendahulu monarki parlementer hari ini di mana terdapat raja yang diwariskan secara keturunan, perdana menteri, dan para menteri yang dipilih dalam pemilu.
Uniknya, untuk mengisi jabatan yang kosong, masyarakat Sparta akan berteriak di dalam pemilu.
“Setiap kandidat akan bergiliran masuk ke ruang pertemuan yang besar, dan orang-orang akan berteriak dan bersorak atas persetujuan mereka. Di ruangan lain, tersembunyi dari pandangan, juri akan membandingkan volume teriakan untuk memilih pemenang,” ungkap Eric Robinson, profesor sejarah di Indiana University, dikutip dari History.
Pemilu Kekaisaran Romawi
Romawi awalnya adalah kerajaan di Italia. Namun, perubahan politiknya terjadi pada 509 SM ketika pecah revolusi yang menggeser sistem monarki menjadi republik. Kelak, republik ini tumbang menjadi Kekaisaran Romawi yang mengembalikan monarki seperti yang dikenal secara populer.
Dalam proses pemerintahannya, Republik Romawi menerapkan demokrasi ala Athena untuk menentukan pemimpin dan rancangan undang-undang (RUU). Bedanya, pemilih yang terlibat dibagi berdasarkan kelas dan menciptakan sistem yang menguntungkan bagi kalangan orang kaya.
Orang Romawi memiliki tiga majelis: Majelis Centuriate, Majelis Suku, dan Dewan Plebeian. Majelis Centuriate melakukan pemungutan suara yang dimulai dari kalangan masyarakat kaya.
Dickson menjelaskan, jika semua orang kaya ingin suatu RUU disahkan atau kandidat terpilih sebagai konsul, mereka dapat memilih dalam blok (kelompok) suara dan mengesampingkan kelas bawah. Hak istimewa orang kaya ini disebut praerogativa yang bermakna "pendapat awal sebelum orang lain" yang menjadi asal hak prerogatif hari ini.
Majelis Suku dan Dewan Plebeian juga memungut suara yang dalam sistem sejarah dunia kuno Romawi dengan membuang undi. Majelis Suku juga seperti DPD, di mana setiap daerah memiliki perwakilan daerah untuk menyatakan pendapat dan memutuskan rancangan undang-undang.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR