"Namun, setidaknya ada satu perbedaan mencolok antara sembahyang monastik Kristen dan Muslim. Salat berorientasi pada sujud. Sembahyang monopisit dilakukan dalam posisil salib," terang Hienz. Peribadatan ini mengacu pada catatan kuno Suriah, Ode Salomo.
"Tidak adanya posisi-posisi ini dalam Islam menunjukkan bahwa, dalam kaitannya dengan Suriah, tidak ada pengaruh terhadap posisi tubuh dalam shalat umat Islam," lanjutnya.
Masyarakat Kekristenan di Suriah-Palestina memiliki kebiasaan memasang lukisan atau figur Yesus Kristus di timur bangunan. Mereka beribadah dan berdoa menghadap ke timur, sebagai karena diyakini di sanalah letak “tempat tinggal Yang Terberkati” dan akan kembali ke Bumi.
"Hal ini memengaruhi salat Muhammad, meski kemudian arahnya diubah ke Kakbah di Mekah. Hal yang penting di sini bukan hanya bahwa umat Kristen di Suriah menghadapi arah yang berbeda dari Yahudi dan kemudian Muslim, namun juga tujuannya berbeda," tulis Hienz.
Lima kali sehari: ibadah Zoroaster
Ketika Nabi berdakwah, Kekaisaran Persia di bawah wangsa Sasaniyah menganut Zoroaster. Pengaruh agama ini sangat kuat, baik dari segi praktik maupun teologi keimanan. Ajaran Zoroaster mengharuskan pemeluk agamanya untuk berdoa lima kali sehari oleh kalangan awam. Sedangkan elite pendeta akan memiliki ragam runtutan ritual.
Hienz menjelaskan, lima kali dalam ibadah Zoroaster ini ditentukan dalam waktu sepanjang hari, yakni fajar, siang, matahari terbenam, matahari tenggelam tanpa cahaya sampai tengah malam, dan di antara tengah hingga fajar.
Sembahyang ini dilakukan dengan menghadap arah cahaya, baik itu dari matahari atau dari api perapian yang disucikan. Ibadah ini pun memiliki ketentuan, mulai dari membersihkan diri dengan cuci muka, tangan, dan kaki, dilanjutkan dengan menghadap tempat berdoa, sampai mengucapkan doa-doa tertentu.
Dalam kasus Zoroastrianisme yang mempengaruhi salat, kriterianya terpenuhi. Dari konteks sejarah yang diberikan, diketahui bahwa para pedagang dan juga penduduk Semenanjung Arab lainnya berhubungan dengan rakyat dan penguasa Sasaniyah," terang Hienz.
"Hal ini tidak mengherankan mengingat ukuran dan kekuatan kekaisaran. Ia memiliki hubungan dengan Himyar dan kepentingan dalam jalur perdagangan yang melintasi semenanjung.
Nabi Muhammad pun diketahui memiliki beberapa sahabat yang berasal dari Persia, salah satunya Salman al Farisi. Sirah al Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri mengungkapkan, Salman berasal dari keluarga terpandang yang ayahnya hendak mengangkatnya menjadi pendeta kuil api.
Ketika masuk Islam, Salman sangat dekat dengan Nabi, terutama dalam Pertempuran Ahzab. Dia memperkenalkan berbagai ragam kebudayaan tradisi Persia, termasuk pembuatan selokan untuk menghadang musuh.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR