Nationalgeographic.co.id–Pembantaian Rumah Sakit Alexandra di Singapura merupakan salah satu peristiwa paling brutal dan tragis dalam sejarah Perang Dunia II.
Terjadi pada tanggal 14 Februari 1942, insiden mengerikan ini mengakibatkan pembunuhan tanpa ampun terhadap personel medis dan pasien yang tidak bersalah. Hal ini menandai babak kelam dalam daftar kekejaman masa perang.
Singapura sebelum Pecahnya Perang Dunia II
Awal tahun 1940-an adalah masa yang penuh gejolak bagi Singapura, yang saat itu merupakan koloni Inggris. Singapura dianggap sebagai benteng yang tak tertembus, bagian penting dari pertahanan strategis Kerajaan Inggris.
Rumah Sakit Alexandra, yang terletak di barat daya pulau, merupakan bagian penting dari infrastruktur pulau.
Didirikan pada tahun 1938, Rumah Sakit Alexandra adalah fasilitas medis canggih yang berfungsi sebagai penyedia layanan kesehatan utama bagi personel militer Inggris yang ditempatkan di Singapura.
Dengan fasilitas modern dan staf yang terlatih, rumah sakit ini menjadi mercusuar harapan dan penyembuhan di tengah meningkatnya ketegangan akibat perang yang akan datang.
Misi damai dan kemanusiaan rumah sakit ini sangat kontras dengan peristiwa kekerasan yang akan segera terjadi di dalam tembok rumah sakit tersebut.
Invasi Jepang ke Singapura
Pecahnya Perang Dunia II pada bulan September 1939 menandai dimulainya konflik global yang mengubah dunia.
Ketika perang menyebar ke seluruh benua, Kerajaan Inggris mendapati dirinya semakin lemah, mempertahankan wilayahnya di berbagai lini.
Singapura, salah satu permata mahkota kekaisaran, tidak terkecuali. Lokasinya yang strategis dan statusnya sebagai pangkalan angkatan laut utama menjadikannya target utama pasukan Jepang yang ingin memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara.
Kampanye Jepang di Asia Tenggara dimulai dengan sungguh-sungguh pada bulan Desember 1941, dengan serangan serentak di Pearl Harbor, Filipina, dan Malaya.
Pasukan Inggris di Singapura, di bawah komando Letnan Jenderal Arthur Percival, tidak siap menghadapi kecepatan dan keganasan serangan Jepang.
Terlepas dari keunggulan jumlah mereka dan benteng pertahanan Singapura yang kokoh, pasukan Inggris terkejut dengan taktik yang digunakan Jepang, termasuk penggunaan sepeda untuk pergerakan pasukan yang cepat dan kemampuan mereka untuk bertempur secara efektif di medan hutan.
Pertempuran Singapura dimulai pada tanggal 8 Februari 1942, ketika pasukan Jepang, dipimpin oleh Jenderal Tomoyuki Yamashita, melancarkan serangan di bagian barat laut pulau tersebut.
Selama minggu berikutnya, pasukan Jepang terus bergerak ke selatan, mengatasi pertahanan Inggris melalui kombinasi taktik agresif dan perang psikologis.
Pada tanggal 13 Februari, pasukan Jepang telah mencapai pinggiran kota, dan Rumah Sakit Alexandra berada dalam garis tembak.
Peristiwa Brutal di Rumah Sakit
Hari Valentine 1942, hari yang seharusnya ditandai dengan ungkapan cinta dan kasih sayang, berubah menjadi mimpi buruk bagi para penghuni Rumah Sakit Alexandra.
Ketika pasukan Jepang maju menuju kota, sekelompok tentara menyerbu rumah sakit. Yang terjadi selanjutnya adalah kebrutalan yang mengerikan yang akan selamanya menggores catatan sejarah Singapura.
Rumah sakit, yang dipenuhi tentara yang terluka dan staf medis yang berdedikasi, tidak siap menghadapi serangan gencar.
Tentara Jepang, dengan mengabaikan hukum perang internasional yang melindungi fasilitas medis, melakukan pembunuhan besar-besaran dengan kejam.
Pasien tak bersenjata di tempat tidur mereka, dokter, perawat, dan staf medis lainnya diserang tanpa pandang bulu.
Pembantaian terus berlanjut selama dua hari, meninggalkan pemandangan mengerikan yang tak terbayangkan.
Laporan saksi mata memberikan gambaran mengerikan tentang pembantaian tersebut. Para pasien ditusuk dengan bayonet di tempat tidur mereka, staf medis ditembak atau ditusuk ketika mereka berusaha merawat yang terluka, dan mereka yang mencoba menyerah tidak diberi belas kasihan.
Ruang operasi rumah sakit, tempat penyembuhan dan harapan, diubah menjadi rumah jagal.
Pada saat pembantaian tersebut berakhir, diperkirakan 200 hingga 300 orang telah dibunuh secara brutal.
Jumlah pastinya masih belum pasti karena situasi yang kacau dan kurangnya catatan yang komprehensif.
Beberapa hari setelah pembantaian tersebut, pasukan Jepang menguasai rumah sakit tersebut.
Meskipun kekejaman telah terjadi, staf medis yang tersisa, di bawah pengawasan Jepang, terpaksa melanjutkan pekerjaan mereka.
Mereka merawat orang-orang yang terluka, termasuk para prajurit yang melakukan pembantaian tersebut, dalam kondisi yang sangat menantang.
Rumah sakit tersebut, meskipun terjadi peristiwa yang mengerikan, tetap berfungsi sebagai fasilitas kesehatan selama masa pendudukan Jepang.
Investigasi dan persidangan pasca perang
Berakhirnya sejarah Perang Dunia II pada tahun 1945 menandai dimulainya proses pencarian keadilan yang panjang dan rumit atas kekejaman yang dilakukan selama konflik.
Di antaranya adalah pembantaian Rumah Sakit Alexandra, sebuah kejahatan perang yang mengejutkan dunia dengan kebrutalannya.
Proses investigasi dan pertanggungjawaban atas peristiwa mengerikan ini penuh dengan tantangan, namun hal ini merupakan langkah penting dalam upaya mencapai keadilan.
Investigasi awal atas pembantaian tersebut dilakukan oleh Tim Investigasi Kejahatan Perang Inggris.
Mereka mengumpulkan bukti-bukti, termasuk laporan saksi mata dari para penyintas dan personel lain yang berada di rumah sakit selama pembantaian tersebut.
Kisah-kisah ini memberikan gambaran mengerikan tentang kekejaman tersebut, dan memberikan bukti penting untuk persidangan berikutnya.
Pengadilan kejahatan perang berlangsung dalam beberapa tahap, dengan tahap pertama berfokus pada penjahat perang besar, termasuk para pemimpin militer Jepang.
Namun, orang-orang yang bertanggung jawab langsung atas pembantaian Rumah Sakit Alexandra tidak termasuk di antara mereka yang diadili pada awalnya.
Baru pada persidangan selanjutnya yang diadakan di Singapura, para pelaku pembantaian tersebut diadili.
Beberapa tentara Jepang diadili dan dihukum karena peran mereka dalam pembantaian tersebut. Di antara mereka adalah Letnan Jenderal Saburo Kawamura, yang memimpin unit yang melakukan pembantaian tersebut.
Dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Namun, banyak yang merasa bahwa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan, karena tidak semua pihak yang terlibat dalam pembantaian tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR