Nationalgeographic.co.id–Peradaban Etruria adalah bangsa pendahulu Kekaisaran Romawi, peradaban ini sangat memengaruhi bagaimana bangsa Romawi berkembang. Termasuk jenis pertanian, metode karya seni, ritual keagamaan hingga gaya berpakaian.
Peradaban Etruria berkembang di Italia Tengah antara abad ke-8 dan ke-3 SM, mendominasi wilayah tersebut hingga secara bertahap jatuh ke tangan Roma yang berkembang mulai akhir abad ke-4 SM.
Namun, kekalahan militer tidak berarti kekalahan budaya bagi bangsa Etruria, dan memang bangsa Romawi mewarisi banyak tradisi budaya dan seni mereka dari kekaisaran besar sebelumnya.
Faktanya, ratusan tahun setelah bangsa Etruria ditaklukkan oleh bangsa Romawi dan diserap ke dalam kekaisaran mereka, bangsa Etruria masih memiliki pemimipin agama Etruria di Roma.
Bangsa Romawi bahkan berkonsultasi dengannya ketika diserang oleh bangsa barbar yang menyerang.
Tontonan pertarungan gladiator, teknik hidrolik, dan desain kuil merupakan tradisi yang diambil Kekaisaran Romawi. Tradisi itu kemudian melebur ke dalam budaya Romawi.
Namun, bagaimana orang Etruria memengaruhi orang Romawi?
Bangsa Etruria di Romawi awal
Salah satu kontribusi paling awal yang diberikan orang Etruria terhadap tatanan Romawi adalah bahwa banyak keluarga bangsawan Romawi berasal dari Etruria.
Termasuk Herminia gens, Lartia gens, Tarquitia gens, Verginia gens, dan Volumnia gens. “Gens” mengacu pada sekelompok keluarga yang memiliki asal usul yang sama.
Dua anggota Herminia gens memegang jabatan konsul di Roma pada tahun-tahun awal kekaisaran. Salah satunya adalah Titus Herminius Aquilinus, yang menjabat sebagai konsul pada tahun 506 SM hanya beberapa tahun setelah republik didirikan.
Dari gen Lartia, anggota awal yang paling terkenal adalah Titus Larcius, yang menjadi konsul dua kali pada tahun 506 SM. Larcius menjadi diktator pertama kekaisaran ini.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR