Nationalgeographic.co.id – Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina secara luas dianggap sebagai tiga filsuf muslim penting yang tercatat dalam sejarah dunia.
Sayangnya, filsafat Islam masih kurang dipelajari, meskipun terdapat banyak kesamaan dan titik kontak pemikiran dengan apa yang disebut filsafat Barat.
Lalu, bagaimana para filsuf muslim ini menjalani kehidupan hingga pemikiran mereka berpengaruh bagi sejarah dunia?
Al-Kindi
Abu Yusuf Ya'qub ibn Ishaq al-Kindi adalah filsuf besar paling awal dalam sejarah Islam. Dia merupakan tokoh sentral yang sekarang kita sebut “lingkaran Kindi”, nama yang diberikan kepada sekelompok penerjemah (kebanyakan orang Kristen Siria) yang bertanggung jawab menerjemahkan banyak karya besar filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, khususnya karya Aristoteles.
Al-Kindi hidup sekitar tahun 800-870 M. Dia juga pernah menjadi tokoh utama di istana khalifah al-Mu'tasim, bahkan diberi tanggung jawab untuk membimbing putra khalifah.
Karya filosofis utamanya berjudul On First Philosophy. Bagian ini terdiri dari empat bagian: nasihat untuk menghormati kebijaksanaan filosofis Yunani, keabadian dunia, keberadaan Tuhan dan ketidakterbatasan Tuhan.
Kajian metafisika Al-Kindi berkaitan erat dengan konsepsinya tentang Tuhan, dan upayanya menjelaskan unsur-unsur wahyu dalam istilah yang lebih rasional dan filosofis.
Al-Kindi mengasosiasikan keberadaan dan kebenaran sedemikian rupa sehingga keduanya dapat digabungkan. Dia berpendapat bahwa “segala sesuatu yang ada memiliki kebenaran”.
Jika Tuhan menjadi penyebab segala kebenaran berarti Tuhan adalah penyebab segala makhluk.
Konsep sentral dalam On First Philosophy adalah kesatuan. Al-Kindi berargumentasi bahwa penyebab pertama dari keberadaan juga harus menjadi penyebab pertama dari kesatuan, sebagian atas dasar bahwa mewujudkan sesuatu sebenarnya adalah soal memaksakan unit yang sebelumnya tidak ada.
Al-Kindi bukan hanya filsuf pertama dalam sejarah Islam, namun juga seorang yang warisan intelektualnya—terutama kepada Aristoteles—terbukti sangat berpengaruh bagi para filsuf berikutnya.
Al-Farabi
Dalam catatan sejarah dunia, tempat kelahiran Abû Nasr al-Farabi banyak digambarkan berasal dari Turki atau Persia. Konsepsi tradisional mengenai dirinya adalah sebagai orang Turki.
Hal ini mengingat klise yang sudah lama ada bahwa filsafat Islam mempunyai tiga pemikir besar—satu orang Arab (al-Kindi), satu orang Turki (al-Farabi), dan satu lagi orang Persia (Ibnu). Sina).
Al-Farabi menghabiskan banyak waktu di Bagdad dan mengenal baik para cendekiawan Kristen Suriah, seperti halnya al-Kindi.
Pengenalan alat logika yang dikembangkan oleh Aristoteles menjadi sumber perdebatan utama di kalangan intelektual Islam abad ke-9 dan ke-10, setelah karya-karya tersebut tersedia dalam bahasa Arab.
Al-Farabi menggunakan logika sebagai alat untuk menganalisis produksi bentuk argumen di bidang penyelidikan intelektual lainnya (misalnya yurisprudensi dan teologi).
Dalam bukunya yang berjudul “The Short Treatise on Reasoning in the Way of the Ancients,” dia menawarkan penjelasan sistematis mengenai konsekuensi analisis logis terhadap argumen yang dibuat oleh para ahli hukum.
Artinya, ia menerapkan silogisme—ciri khas analisis logika Aristotelian—dan memperluasnya melampaui ranah logika itu sendiri.
Silogisme adalah pola penalaran yang terdiri dari minimal dua premis dan satu kesimpulan.
Al-Farabi berupaya mensintesis dan merekonsiliasi unsur-unsur karya Aristoteles yang tampaknya berbeda. Yang terpenting dari semua ini adalah cara al-Farabi mencoba menghubungkan logika, tata bahasa, dan bahasa satu sama lain.
Ia berpendapat bahwa logika mirip dengan tata bahasa, yaitu hubungan yang ada antara logika dan “yang dapat dipahami” sama atau setara dengan hubungan antara bahasa dan ekspresi suatu bahasa.
Ibnu Sina
Ibnu Sina atau yang dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna merupakan tokoh Islam yang berpengaruh dalam sejarah dunia. Dia lahir tahun 980, dekat Bukhara, Iran (sekarang di Uzbekistan).
Dia adalah seorang dokter muslim, yang paling terkenal dan berpengaruh di antarafilsuf-ilmuwan dunia Islam abad pertengahan.
Ibnu Sina terkenal atas kontribusinya di bidang filsafat dan kedokteran Aristotelian. Dia menyusun Book of the Cure, sebuah ensiklopedia filosofis dan ilmiah yang luas. Kemudian, The Canon of Medicine, yang merupakan salah satu buku paling terkenal di dunia sejarah kedokteran.
Menurut catatan pribadi Avicenna tentang hidupnya, dia membaca dan menghafal seluruh Al-Qur'an pada usia 10 tahun.
Guru Nātilī mengajarinya dalam logika dasar. Ibnu Sina pun melampaui gurunya, dia mulai mempelajari sendiri para penulis Helenistik. Pada usia 16 tahun Avicenna beralih ke kedokteran, suatu disiplin ilmu yang menurutnya “mudah” dikuasainya.
Ketika Sultan Bukhara jatuh sakit karena suatu penyakit yang membingungkan para tabib istana, Ibnu Sina dipanggil ke samping tempat tidurnya dan menyembuhkannya.
Sebagai rasa terima kasih, sultan membukakan perpustakaan kerajaan Sāmānid untuknya, sebuah kebajikan yang tidak disengaja yang memperkenalkan Ibnu Sina pada banyaknya ilmu pengetahuan dan filsafat. Dia meninggal tahun 1037, Hamadan, Iran.
Source | : | britannica,The Collector |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR