Nationalgeographic.co.id—Sosok Gaius Julius Caesar Augustus Germanicus, yang lebih dikenal dengan nama Caligula, telah lama memukau sekaligus membuat ngeri para sejarawan.
Di Bawah kekuasaannya, dari tahun 37 hingga 41 Masehi, Kekaisaran Romawi diwarnai kisah-kisah kekejaman, pesta pora, dan kegilaan. Namun, apa yang sebenarnya terjadi dengan Caligula merupakan sebuah teka-teki.
Gaius: anak laki-laki yang dijuluki "Caligula"
Caligula merupakan anak dari seorang pemimpin militer sohor Kekaisaran Romawi, Germanicus. Sejak kecil, ia telah mengikuti ayahnya dalam berbagai petualangan milter.
Setiap perjalanan, dia selalu mengenakan seragam militer ukuran anak-anak, lengkap dengan sepatu bot yang dikenal dengan nama caligula. Dan di sinilah dia mendapatkan nama julukannya, “Caligula”.
Kendati demikian Caligula tidak menyukai julukan ini. Setelah naik takhta, dia lebih suka dipanggil dengan nama lahirnya, Gaius Julius Caesar, untuk menghormati leluhurnya yang terhormat.
“Sejak usia yang sangat muda, Caligula mengalami banyak pengalaman traumatis yang kemungkinan besar membentuk masa kecil dan kehidupannya di kemudian hari,” kata Christiana Athanasiou, seorang penulis sejarah dari Yunani.
Pada usia 18 bulan, dia dipasrahkan kepada kakek buyutnya karena masalah kegiatan. Ketika usia dua tahun, dia sudah membaik dan telah menemani orang tuanya dalam perjalanan militer.
Meskipun demikian, perjalanannya tak selalu berjalan mulus. Dalam sebuah insiden, Caligula menunjukan gejala epilepsi.
Di usia tujuh tahunnya, setelah ayahnya terbunuh pada satu misi, Caligula harus kembali ke Roma untuk tinggal bersama neneknya. Livia.
Satu dekade kemudian, Tiberius memerintahkan eksekusi ibu dan dua saudara laki-laki Caligula, dan saudara perempuannya dikirim ke pengasingan.
Terlepas dari kehilangan-kehilangan ini, catatan sejarah menunjukkan bahwa Caligula tampaknya secara emosional tidak terpengaruh oleh kematian anggota keluarganya.
Awal Pemerintahan dan Transformasi
Pada usia 20 tahun, Caligula dipanggil oleh Tiberius ke Capri, di mana ia dan sepupunya Gemellus diangkat sebagai ahli waris. Setelah kematian Tiberius pada Maret 37 M, Caligula naik sebagai kaisar Roma
Ketika naik ke tampuk kekuasaan, senat dan rakyat Kekaisaran Romawi menyambutnya dengan meriah dan penuh harapan. Dia dianggap seperti cahaya terang di tengah gelap, karena beberapa kebijakannya.
Namun, harapan tersebut segera berakhir setelah sang kaisar menderita penyakit parah pada 37 Masehi, di usia 25 tahun. Titik ini adalah momen penting yang mengubah perilakunya secara signifikan.
Setelah sembuh, Caligula memanjakan diri dengan alkohol, mengklaim keilahian, dan menjadi semakin paranoid, yang berujung pada eksekusi Gemellus dan Macro karena ketakutan akan konspirasi.
Pemerintahan Caligula, yang ditandai dengan tindakan-tindakan yang tidak biasa ini, berakhir dengan pembunuhannya pada usia 28 tahun. Caligula dibunuh pada tanggal 24 Januari 41, sehari sebelum keberangkatannya ke Alexandria, oleh anggota Praetorian.
Perspektif Neuropsikiatri
“Tindakannya setelah sakit, yang ditandai dengan hiperseksualitas, sadisme, dan insomnia parah–tidur tidak lebih dari tiga jam semalam–melukiskan gambaran seorang penguasa yang bergumul dengan masalah kesehatan mental yang mendalam,” ungkap Chrisitina.
Salah satu teori menyatakan bahwa perubahan perilaku Caligula yang tiba-tiba disebabkan oleh keracunan. Dia diduga telah mengonsumsi timbal dalam dosis tertentu. Hal ini lazim terjadi di kalangan bangsawan Romawi karena kandungan timbal dalam anggur.
Riwayat kesehatan Caligula menunjukkan bahwa ia mungkin telah mengalami kerusakan saraf serius pada tahun 37 M. Hal ini menyebabkan terganggunya emosional, perilaku, dan kognitif yang berlangsung lama.
Aspek-aspek kepribadian dan pemerintahan Caligula ini telah memicu perdebatan di antara para sejarawan dan ahli medis mengenai dampak kesehatannya terhadap kepemimpinannya dan warisan terkenal yang ia tinggalkan.
Perdebatan Para Sejarawan
Narasi seputar kegilaan Caligula sangat kompleks dan penuh dengan kontroversi. Kurangnya bukti konkret untuk merekonstruksi kondisi mentalnya menyisakan ruang untuk spekulasi.
Sementara banyak orang menduga bahwa tindakan gila Caligula didorong oleh kesehatan mentalnya, beberapa sejarah mengatakan bahwa hal tersebut boleh jadi hanya propaganda.
Narasi senator yang menjadi sumber sebagian besar pemahaman kita tentang Caligula berusaha mendiskreditkan dirinya, menggambarkan tindakannya dalam sudut pandang yang paling negatif.
Bias ini menunjukkan bahwa interpretasi kegilaannya mungkin lebih mencerminkan agenda politik daripada kesehatan mental Caligula yang sebenarnya.
Dengan mempertimbangkan beberapa perspektif, menurut Christiana, dalam mengevaluasi kembali Caligula penting untuk bergerak lebih jauh dari sekadar mencari “Caligula gila”. Mempertimbangkan faktor-faktor historis, sosial, dan politik seharusnya tidak boleh luput.
“Meskipun analisis neuropsikiatri modern menawarkan penjelasan potensial untuk perilakunya yang tidak menentu, kurangnya bukti sejarah yang pasti dan sifat bias dari sumber-sumber kuno berarti bahwa kesimpulan apa pun harus ditarik dengan hati-hati,” jelas Christina.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR