Meski demikian, terkhusus di Hindia Belanda, tidak semua orang bisa memiliki sepeda ontel pada masa Hindia Belanda. Moda transportasi yang lebih praktis ketimbang mengendarai kuda ini adalah barang mewah. Harga sepeda jenama Gazelle saja pada masanya bisa sangat mahal, setara dengan satu ons emas.
Sama seperti kehadiran motor di era modern. Semakin canggih spesifikasi motornya, harganya semakin mahal. Begitu pula dengan ontel yang lebih banyak dikendarai orang Eropa, bangsawan, para misionaris dan pastor, tukang pos, dan masyarakat menengah ke atas. Hal ini menggeser kalangan priayi yang awalnya menggunakan kereta kuda.
Perang Dunia II dan Mati Surinya Sepeda Eropa di Hindia
Perang Dunia II yang dimulai pada 1939 berdampak luar biasa secara politik dan ekonomi. Bagi dunia sepeda Belanda dan Hindia Belanda, perang menyebabkan bisnis sepeda tersendat. Pelbagai pabrik sepeda di Belanda di bombardir ketika Jerman memulai invasinya.
Periode kependudukan Jepang di Hindia Belanda pun menyebabkan mandeknya pasar sepeda ontel atau sepeda dari Eropa. Ketika Jepang datang pada Maret 1942, pihak militernya melarang penggunaan sepeda-sepeda buatan Eropa. Suku cadang sepeda buatan Eropa juga terbatas.
Mandeknya sepeda impor dari Eropa membuat perdagangan sepeda bergeser. Hindia Belanda, terutama setelah merdeka menjadi Indonesia, memiliki banyak perusahaan sepeda rakitan dalam negeri. Berbagai kota besar seperti Semarang, Bandung, dan Surabaya memproduksi sepeda dengan jenama seperti Banteng, Garuda, dan Dwi Warna.
Yang Tersisa dari Sepeda
Pada 1960an, Indonesia menjadi target pasar sepeda impor dari Jepang dan Tiongkok, hanya segelintir dari Eropa. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, minat sepeda semakin berkurang karena semakin banyaknya kendaraan motor yang harganya mulai terjangkau.
Hari ini, sepeda ontel lebih banyak disewakan sebagai wisata kenangan masa kolonial seperti di Kota Tua Jakarta. Ada pun kebiasaan menggunakan ontel masih bertahan pada abad ke-21 di Yogyakarta. Pandemi COVID-19 (2020-2021) sempat membawakan kembali tren bersepeda, namun tidak berlangsung lama.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR