Nationalgeographic.co.id—Molukse wijk adalah tempat penampungan ribuan orang Maluku yang dievakuasi ke Belanda. Evakuasi ini terjadi setelah Perang Dunia II, tepatnya setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk.
Setelah Perang Dunia II, Indonesia masih terus berperang melawan Belanda untuk memperoleh kemerdekaannya. Pada tahun 1949 perjanjian damai antara dua belah pihak dibuat, antara lain mengatur pembentukan federasi negara-negara Indonesia.
Namun pemerintah Indonesia mengubahnya menjadi negara kesatuan. Hal ini memicu kaum nasionalis Maluku untuk mendeklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS) menjadi negara merdeka pada tahun 1950.
Deklarasi RMS itu membuat pasukan Indonesia menyerbu pulau-pulau di Maluku selatan. Lalu perang saudara berdarah pun dimulai.
Tentara Maluku, yang pernah bertempur untuk Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan ditempatkan di Jawa dan Sumatra, dievakuasi bersama keluarganya untuk sementara ke Belanda pada tahun 1951. Evakauasi dilakukan untuk menghindari persekusi dan melindungi keamanan keluarga mereka akibat ketegangan antara pemerintah Indonesia dan RMS.
Pemerintah Belanda berupaya merundingkan kemerdekaan Maluku dari Indonesia. Setelah hal ini tercapai, diharapkan orang-orang Maluku akan kembali ke kampung halaman mereka.
Untuk sementara waktu, sebanyak 12.500 tentara Maluku dan keluarga mereka ditempatkan di bekas kamp konsentrasi Nazi di Westerbork, Vught dan tempat lain di pedesaan Belanda. Ini adalah tempat penampungan sementara sebelum mereka akan diangkut kembali ke Indonesia.
Namun, upaya pemerintah Belanda untuk mengeluarkan warga Maluku dari kamp berulang kali mendapat perlawanan dan kerusuhan. Alhasil, pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mengatasi permasalahan masyarakat tersebut.
Pemerintah mengabaikan komitmennya untuk merundingkan kemerdekaan Maluku dari Indonesia, dan menawarkan perumahan baru, pendidikan yang lebih baik, dan kesempatan kerja. Langkah-langkah ini termasuk pembentukan Molukse wijk, kawasan permukiman yang dibangun khusus untuk orang Maluku dan keturunan mereka.
Awalnya 71 distrik dibangun, masing-masing memiliki gereja dan pusat komunitas, dan dijalankan oleh dewan lokal di Maluku. Beberapa di antaranya dibangun di lokasi kamp-kamp tua yang menjadi tempat tinggal orang-orang Maluku setibanya mereka di Belanda.
Beberapa peraturan terpisah mengatur distrik. Misalnya, polisi hanya akan masuk setelah menghubungi dewan setempat. Program pemerintah yang lebih baik dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan juga diterapkan pada kelompok minoritas lainnya, meskipun komunitas Maluku tetap unik karena memiliki Molukse wijk yang khas.
Pada tahun 1986, berdasarkan Pernyataan Bersama yang dibuat oleh pemimpin masyarakat Maluku, Pendeta Metiarij dan Perdana Menteri Belanda Ruud Lubbers, pemerintah Belanda memberikan tunjangan tahunan kepada para veteran tentara Maluku, menyediakan dana untuk museum sejarah Maluku, yang akan berfungsi sebagai pusat kebudayaan, dan menyiapkan skema lapangan kerja untuk 1.000 pemuda Maluku. Pernyataan tersebut memberikan pengakuan kepada masyarakat Maluku atas perannya sebagai ciri permanen masyarakat Belanda.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kembali minat generasi kedua dan ketiga masyarakat Maluku terhadap bahasa asli. Bahasa-bahasa ini disembunyikan oleh para tetua demi alasan kesatuan, dan akibatnya beberapa bahasa telah hilang.
Namun, masyarakat Saparua menyusun kamus untuk bahasa mereka pada tahun 1998. Masyarakat Maluku telah menyelenggarakan kelas bahasa dalam beberapa bahasa tanah dan ada kecenderungan bagi penyair dan seniman pertunjukan untuk menggabungkan kata-kata dari berbagai bahasa dengan percakapan sehari-hari dalam bahasa Melayu.
Ada minat yang kuat di universitas-universitas di seluruh dunia terhadap bahasa tanah, dan proyek penelitian akademis telah mendukung peluncuran kembali bahasa-bahasa tersebut.
Saat ini di Belanda, masyarakat Maluku tinggal di distrik-distrik terpisah yang dikenal sebagai Molukse wijk, tersebar di seluruh negeri dalam sebagian besar wilayah regional. Lingkungan-lingkungan ini terus menjadi pusat penting dari pengalaman orang Maluku.
Sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh Netherlands Institute for Social Research menunjukkan bahwa sekitar 45 persen generasi kedua dan 40 persen generasi ketiga masyarakat Maluku masih tinggal di lingkungan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat juga kekhawatiran di kalangan masyarakat Maluku atas potensi hilangnya wijk Molukse. Ketakutan seputar perambahan orang non-Maluku ke distrik-distrik ini juga mengakibatkan protes dan vandalisme untuk mendukung eksklusivitas orang Maluku.
Ketakutan tersebut juga mendorong terbentuknya kelompok hak asasi masyarakat seperti Maluku Maju di kota Hoogeveen di timur laut. Kelompok-kelompok ini berupaya menyuarakan pelestarian sifat khas Molukse wijk dan memberikan dukungan kepada penduduk setempat.
Masyarakat Maluku tidak diuntungkan dalam hal pekerjaan dan diskriminasi terhadap mereka masih terjadi. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Maluku memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih rendah dibandingkan masyarakat Belanda pada umumnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR