Nationalgeographic.co.id—Bagi siapa pun yang pernah Banda Neira akan terkesima dengan Benteng Belgica. Benteng ini didirikan oleh para pemburu rempah dari Portugis pada abad ke-16. Sempat runtuh ketika Belanda datang, kemudian dibangun kembali pada 1611 oleh, Pieter Both, wakil VOC di Hindia Timur.
Keelokan benteng ini tiada tara. Sampai-sampai, ragam karya sastra Indonesia meromantisasinya berkat pemandangan sekitar tempatnya berdiri.
Belgica hanya segelintir dari sekian banyak benteng yang dimiliki Belanda di Asia. Kebanyakan benteng-benteng yang dikuasai Belanda dan VOC berasal dari perebutan berdarah dengan penguasa Eropa lama: Portugis. Benteng terjauh mereka bahkan berdiri di Nagasaki, Jepang yang didirikan pada 1641.
John W. Witek dalam makalah "The Seventeenth-Century European Advance into Asia—A Review Article" di The Journal of Asian Studies menjelaskan benteng menjadi basis pembuka pengetahuan bangsa Eropa akan dunia Asia yang belum terjelajahi sebelumnya.
Basis Persaingan
Fungsi utama dari pembangunan banyak benteng di Maluku adalah sebagai merebut kejayaan dalam persaingan dengan negara-negara Eropa yang ikut menjelajah. Benteng berguna untuk memobilisasi pengambilan sumber daya alam yang dapat diperdagangkan ke tanah air mereka.
Republik Belanda, sebagai negara yang tengah berkecamuk dalam upaya merdeka dari Spanyol, turut berupaya mengejar penjelajahan dan memonopoli rempah-rempah yang begitu berharga.
"Bahkan sebelum Gencatan Senjata Dua Belas Tahun (jeda selisih antara Spanyol dan Republik Belanda yang dimulai pada 1609), banyak benteng, kadang-kadang berukuran kecil, dibangun untuk tujuan ini," ungkap John R. Verbeek, mendiang sejarawan Leiden University dalam tulisannya di Historiek bertajuk "Forten van de VOC".
Belanda berhasil membangun benteng pertamanya di kepulauan rempah-rempah pada 1600. Benteng ini sangat sederhana atas permintaan dari penguasa Kerajaan Tanah Hitu di Ambon yang berselisih dengan Portugis.
Posisi Belanda semakin kuat ketika perusahaan swasta mereka berdiri pada 1602. VOC berhasil menguasai benteng Portugis Nostra Señora de Anunciada (sekarang Benteng Victoria) di Ambon pada 1605. Kehadiran benteng itu mewarnai Perang Rempah-rempah dalam sejarah dunia yang mempertemukan Belanda dan Portugis. Perang ini berlangsung sejak 1598.
Benteng lainnya yang didapat Belanda adalah Benteng Oranje yang diberikan Sultan Ternate Mudaffar Syah I. Pada Awalnya, benteng ini adalah milik Portugis yang penghuninya mayoritas orang Melayu sehingga bangunan ini sebelumnya disebut "Benteng Melayu".
Setelah diberikan kepada pihak Belanda, Laksamana Cornelis Matelief de Jonge membangun ulang benteng tersebut pada 1607. Penggunaannya sangat penting kala VOC beroperasi di Maluku.
Upaya monopoli ini dilanjutkan ketika VOC menguasai benteng-benteng Portugis lainnya, termasuk Benteng Galle di Srilanka pada 1649. Penguasaan Srilanka, membuat VOC punya kontrol atas perdagangan di Malabar dalam sejarah dunia.
VOC bisa dibilang sangat menarik dalam sejarah dunia. Mereka adalah perkumpulan perusahaan swasta yang diwakili oleh Heren Zeventien (Dewan Tujuh Belas). Di luar Belanda, VOC bisa memiliki kapal bersenjata meriam, pasukan, dan benteng untuk mempertahankan diri—seolah mereka adalah negara di dalam negara.
Masalahnya, benteng-benteng Belanda sering dibangun di tempat yang tertutup. Padahal, bangunan yang terhubung ke lautan terbuka dapat mengevakuasi barang, uang, senjata, jika ada barang darurat, dan mobilisasi militer.
"Akibatnya, benteng Belanda kadang-kadang tidak dibangun secara taktis di tempat terbaik (misalnya, di lokasi yang didominasi oleh bukit atau gunung), tetapi secara operasional mereka memenuhi persyaratan untuk dapat menahan serangan lawan lokal," ungkap Verbeek.
Kemudian Heren Zeventien di Belanda mulai mendorong pembangunan benteng besar setelah pengusiran Portugis dan Spanyol di Maluku. Benteng besar diperlukan untuk mencegah penyelundupan dan pertahanan.
VOC mulai meninggalkan kebiasaan membangun dengan bahan seadanya. Iklim membuat benteng berbahan kayu, batu, dan tanah dapat dengan mudah rapuh dimakan rayap. Bahan-bahannya diganti dengan batu dan kapur. Pembangunannya mengandalkan pekerja yang diberikan oleh penguasa-penguasa lokal.
Kemudahan administrasi
Benteng adalah ide cemerlang dalam penguasaan jalur perdagangan sejarah dunia. Fungsinya sebagai pos administratif dan komersial yang membuat perdagangan laut lebih efisien daripada daratan.
Pada Abad Pertengahan, pelbagai negara-negara di dunia mengandalkan Jalur Sutra untuk berdagang barang eksotis. Jalur Sutra yang melintasi Asia Tengah ini sempat terjamin, berkat dimonopoli Kekaisaran Mongol, sehingga proses administrasi berjalan lebih lancar dari sebelumnya. Periode ini disebut sebagai Pax Mongolica yang pernah dibahas di artikel sebelumnya.
Akan tetapi, setelah Kekaisaran Mongol terpecah-pecah dan runtuh pada abad ke-15. Sejarah dunia berubah dengan kehadiran kerajaan-kerajaan baru, sehingga administrasi perdagangan sulit lagi. Penguasa-penguasa sempat dapat menarik pajak yang tinggi, sehingga harga komoditas terlampau mahal.
Memasuki era penjelajahan, negara-negara Eropa membangun benteng untuk memudahkan administrasi ini. VOC sendiri mengandalkan benteng-benteng mereka untuk menjaga pemasukan tetap masuk ke dalam kas, dan menstabilkan harga komoditas setibanya di Eropa.
Masalahnya, benteng beragam fungsi seperti ini rentan secara militer. Gudang besar, lumbung, ruang-ruang lainnya, memakan tempat bagi persiapan. Belum lagi, VOC sangat rentan pada benteng-benteng tertentu seperti Benteng Oranje yang terlalu dekat dengan penduduk Maluku, sehingga sulit untuk membangun parit pertahanan.
Setelah menguasai kepulauan rempah-rempah di Asia Tenggara, VOC memilih untuk menjadikan Maluku sebagai pos-pos terluar. Pusat VOC kemudian berpindah di Batavia dengan mendirikan pelbagai kantor yang memudahkan operasional secara administratif dan militer ke pos lainnya, daripada harus didatangkan dari Belanda atau mengisi masing-masing benteng.
"Pemerintahan angkatan laut VOC memungkinkan hal ini. Hal ini menghasilkan fortifikasi suboptimal hibrida dengan lebih memperhatikan penyimpanan barang perdagangan dan kas Perusahaan yang aman daripada tugas militer," terang Verbeek.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR