Dalam hal pembacaan puisi, Cok mulai bereksperimen sejak tahun 1990-an. Ia mencoba kemungkinan pola baru, teknik, dan intensitas pembacaan puisi, hingga menemukan bahwa huruf mati pun dapat bersuara dan memiliki keindahan bunyi serta makna yang kuat.
Arja Siki hingga Drama Tari
Dalam seni panggung, Cok tampil di semua lini. Sutradara, penulis naskah, hingga pemain. Semua pernah ia lakoni. Kebanyakan, pentas-pentasnya dari dan untuk puisi dengan tradisi Bali yang sangat kuat. Salah satunya, pentas yang cukup ikonik yaitu Sakyamuni, Itu Saja (Perlu Mati). Sebuah pentas teatrikal di panggung Borobudur Writers and Culturals Festival 2018.
Dalam pentas tersebut, Cok menampilan arja siki, sebuah monolog khas Bali. Cok banyak menampilkan arja siki di panggung-panggung kecil hingga panggung besar seperti BWCF tersebut. Di panggung-panggung kecil, arja siki karya Cok berisi lontaran-lontaran jenaka yang membuat penontonnya tergelak.
Akan tetapi di sisi lain, kembali akan merenung sebab ia banyak menampilkan tokoh-tokoh yang tertindas, bahkan tokoh legenda. Tokoh yang ia hidupkan kembali lalu “diadili” sekali lagi untuk diposisikan, sebenarnya benarkan yang distigmakan selama ini.
Misalnya arja siki Surpanaka yang ia pentaskan. Surpanaka digambarkan oleh Cok sebagai perempuan yang anggun namun tak berhasil memikal Laksmana, adik Rama. Surpanaka merasa jatuh cinta pada Laksmana dan dicerca karena nembak duluan.
“Tapi justru hal itu membuat si laki-laki memandang perempuan menjadi tidak anggun. Padahal apa salahnya perempuan nembak duluan,” tanya Cok Sawitri.
Sementara di Sakyamuni, Cok menampilkan drama tari yang mendalam, sunyi, dan jauh dari kejenakaan. Pentas ini menjadikan Cok sepilih sebagai Tokoh Seni Pilihan 2018 versi Majalah Tempo. Sakyamuni adalah nama lain dari Sidharta Gautama, figur suci yang tak hanya disucikan oleh penganut Budha tapi juga Hindu yang menyebutnya Awatara.
“Sakyamuni sebagai naskan dance teater tidak saya tulis dengan cara lumrah. Naskah yang bermain dari teks ke supatreks,” jelas Cok ketika di belakang panggung, 2018. Karya ini wujud dari kegelisahaannya terhadap fanatisme agama yang memasuki ranah kehidupan sosial politik.
Ditampilkan oleh para penari dengan gerakan-gerakan lambat, panggung yang sunyi dengan kostum berwarna terang. Sakyamuni yang dibuat dengan judul nyeleneh ini untuk mengritik “matinya” univeraslitas spiritual menjadi sesuatu yang sangat banal: kampanye politik dan merchandise.
“Sakayamuni itu perlu mati. Padam. Selesai,” kata Cok.
Padam. Mati. Selesai. Kata-kata yang menandai akhir sekaligus awal perjalanan lain. Akan tetapi, tentang Cok Sawitri dan karyanya, tidak akan selesai. Jejak karya dan celotehan di laman media sosialnya akan terus hidup setelah kepergiannya pada 4 April 2024 pada usia 55 tahun. Cok Sawitri lahir pada 1 September 1968. Ia, perempuan yang bercerita itu, akan terus meninggalkan cerita.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR