Nationalgeographic.co.id—Hujan terus mengguyur Kota Bogor dalam beberapa hari terakhir. Hal ini seolah menegaskan predikatnya sebagai “Kota Hujan”.
Julukan ini bukan tanpa alasan. Bogor memang terkenal dengan curah hujannya yang tinggi, bahkan melebihi rata-rata kota-kota lain di Indonesia.
Tak heran, bagi warga Kota Bogor, hujan bukan lagi hal yang asing. Hujan adalah sahabat yang menemani keseharian mereka.
Ahli meteorologi IPB University, Sonni Setiawan, memberikan paparannya terkait fenomena tingginya curah hujan di Kota Bogor. Sang meteorolog menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi di Kota Bogor dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu angin monsun, posisi matahari, dan faktor lokal yaitu topografi.
“Faktor pertama tingginya curah hujan di Bogor yaitu karena angin monsun barat dari Asia pada bulan Desember-Januari-Februari dan monsun timur dari Australia pada bulan Juni-Juli-Agustus. Faktor ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penguapan uap air dan menghasilkan hujan,” jelasnya.
Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi di FMIPA IPB University itu memaparkan, tingginya curah hujan di Bogor juga didukung oleh posisi matahari. Posisi matahari yang dimaksud sang meteorolog adalah yang disebut dengan Intertropical Convergence Zone (ITCZ), yang biasa terjadi di bulan Maret dan September.
“Selain itu, ada juga karena faktor-faktor lokal yaitu faktor topografi. Gunung-gunung di sekitar Bogor, seperti Gunung Salak dan Pangrango juga turut mempengaruhi pergerakan awan dan curah hujan,” terang Sonni.
Menurutnya, kondisi Bogor yang sering terjadi hujan dengan frekuensi tinggi justru memberikan banyak dampak positif. Bahkan, ia menyampaikan bahwa tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena alam ini.
“Sisi positif tingginya hujan pastinya lebih banyak. Masyarakat lebih teredukasi terkait karakter curah hujan di wilayah Bogor dibanding dengan wilayah lain dan bagaimana menyikapi kondisi yang ada,” paparnya.
Terkait longsor dan banjir yang sering terjadi di beberapa wilayah di Bogor, ia menegaskan bahwa hal itu bukan karena dampak negatif terjadinya hujan, melainkan karena alih fungsi lahan.
“Pembangunan di daerah resapan serta membangun tanpa memperhatikan karakteristik dan kondisi wilayah menjadi penyebab terjadinya longsor dan banjir," urainya.
"Bogor dikenal sebagai Kota Hujan tidak hanya sekarang ini, tetapi sudah semenjak zaman VOC bahkan sejak Kerajaan Pajajaran, tapi dahulu tidak terjadi longsor dan banjir, berarti ada kesalahan yang terjadi,” tegasnya.
Meski demikian, Sonni menyebut bahwa frekuensi hujan di Kota Bogor dalam beberapa dekade terakhir justru mengalami penurunan.
“Data menunjukkan frekuensi hujan di Bogor menurun dalam beberapa dekade terakhir. Namun intensitas hujan deras meningkat," kata Sonni. "Hal ini dikaitkan dengan perubahan iklim global dan alih fungsi lahan di Bogor.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR