Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman merupakan pusat peradaban Islam dan negara adidaya yang kuat di Timur Tengah pada abad ke-19. Hal ini juga termasuk bagaimana mereka merayakan bulan suci Ramadan dan hari raya Idulfitri.
Sebagai bulan suci, otoritas Kekaisaran Ottoman menjadikan Ramadan sebagai ajang untuk memperkuat norma dan akhlak masyarakat. Penegakkan akhlak ini berlaku ketika Ramadan datang berdasarkan penanggalan hijriah, ketika hilal (secuil dari bulan sabit) tampak di langit.
Adam Mestyan, peneliti dunia Arab modern dari Duke University menjelaskan, dalam makalah "Upgrade? Power and Sound during Ramadan and ‘Id al-Fitr in the Nineteenth-Century Ottoman Arab Provinces" menyebutkan bagaimana masyarakat dan otoritas Kekaisaran Ottoman begitu merayakan "penyucian" ini.
Makalah itu dipublikasikan di Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East pada 2017. Dia menyebut bahwa selama Ramadan, kota-kota di Kekaisaran Ottoman akan menyalakan cahaya malam, jauh sebelum listrik ditemukan.
Mestyan mencatut sebuah catatan dari sebuah musafir perempuan Prancis ketika mengunjungi Kairo pada 1860-an. Musafir tersebut mengungkapkan "Pada waktu ini, umat Islam mengadakan karnaval pada malam hari dan diselangi siang hari".
Catatan itu juga melaporkan bagaimana masyarakat mengadakan pelbagai kesenian menyambut Ramadan. "Ramadan adalah saat yang tepat bagi penari dan penyanyi pria dan wanita," ungkap catatan itu.
Bagi masyarakat Kekaisaran Ottoman, terutama di Istanbul, Ramadan adalah waktu yang bebas. Pasalnya, pada bulan suci ini banyak institusi yang tutup, termasuk sekolah. Jadwal kerja siang hari pun dibatasi.
"Malam Ramadan dan Idulfitri memberikan kesempatan untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk hiburan baru selama abad kesembilan belas seiring dengan urbanisasi," terang Mestyan.
Kemeriahan Ramadan dan Idulfitri Kekaisaran Ottoman
Meriam adalah tanda masuknya bulan Ramadan dan menjelang Idulfitri. Penggunaannya bahkan dilakukan oleh kalangan pemuka agama seperti Mufti Syekh al-'Abbasi di Mesir. Penggunaan ini masih digunakan pada 1870-an, walaupun teknologi telegram berkenal.
Masyarakat Kekaisaran Ottoman memeriahkan Ramadan dengan arak-arakan dendang gendang dan lantunan muazin. Tampaknya, tradisi ini diwariskan pula oleh masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Bagaimanapun, perayaan seperti ini merupakan ajang hiburan kolektif masyarakat Kekaisaran Ottoman, baik itu kalangan muslim maupun non-muslim. Pada bulan Ramadan, hiburan seperti ini ada kala malam dan berbuka puasa, mencakup nyanyian dan doa-doa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR