Menjelang Hari Raya Idulfitri, perayaan diadakan beberapa malam sebelumnya. Arak-arakan seperti ini dilakukan sebagai pengantar layanan zakat fitrah. Kegiatan ini diadakan ketika menjelang berpuasa. Bagi masyarakat, momen seperti ini "menunjukkan kemurahan hati, welas asih, dan kesetiaan politis pada abad ke-19," urai Mestyan.
Sayyid Ali Isma'il dalam Juhud al-Qabbani al-Masrahiyya fi Misr, mengungkapkan ada banyak pagelaran teater di Kairo, Beirut, dan bahkan Armenia. Aktivitas ini sudah ada sejak 1847 di beriut, kemudian berkembang hingga 1880-an.
Sementara itu, masyarakat Turki di Kekaisaran Ottoman merayakan Hari Raya Idulfitri dengan Seker Bayrami yang berarti "Pesta Gula".
Sejak hari ke-15 Ramadan, masyarakat Kekaisaran Ottoman di Turki akan menawarkan kue pastri baklava yang manis kepada para tentara. Selain itu anak-anak memiliki kebiasaan untuk menghabiskan uang sakunya untuk membeli manisan.
Wartawan Murat Bardakçı yang kerap membahas era Kekaisaran Ottoman menduga, istilah ini sebenarnya pergeseran makna dari "sukur" yang berarti bersyukur menjadi "seker" yang berarti gula.
Tidak Semua Kalangan Merayakan
Tidak semua masyarakat di Kekaisaran Ottoman merayakan Ramadan dengan cara yang sama. Kalangan masyarakat biasa, biasanya akan pergi bersenang-senang, mengekspresikan kebebasannya bak kelas atas, dan menguasai ruang kota pada malam pada rentang waktu tertentu.
Misalnya, dalam sebuah pengamatan orientalis Edward William Lane dalam An Account of the Manners and Customs of the Modern Egyptians dia melihat masyarakat umum membanjiri kedai-kedai kopi pada malam hari di bulan Ramadan sekitar 1820-an.
Kondisinya berbalik dengan kalangan ulama yang dianggapnya elite. Kalangan ini lebih banyak berzikir dan beribadah di rumah mereka. Hal ini menandakan bahwa kalangan elite lebih tertutup selama Ramadan.
Perayaan hiruk pikuk menjelang Ramadan dan hari raya Idulfitri pun ditentang. Salah satu yang mengkritik kebiasaan ini adalah otoritas Kekaisaran Ottoman di Damaskus. Alasan kegiatan ini tidak meriah di sana karena terkait "moral publik" yang boros, seperti mengunjungi teater dan taman kota.
Bunyi-bunyian yang diadakan dianggap sebagai "simbol dominasi asing". Hal ini dikutuk secara moral, terutama sejak akhir 1880-an.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR