Puisi "Celana Ibu" adalah penghayatan Joko Pinurbo sebagai seorang pemeluk Katolik dalam menghayati peristiwa kebangkitan Yesus. Joko Pinurbo bermain kata "Paskah" secara "liar" untuk ditafsirkan. Puisi ini juga mengisahkan tentang sosok ibu yang masih memedulikan anak satu-satunya, walaupun sang anak telah wafat.
Joko Pinurbo juga menghayati dari berbagai hal di sekitarnya. Misalnya "Sepotong Hati di Angkringan" (2021) yang merupakan puisi berlatar tempat di angkringan.
Sebagai tempat makan sederhana dengan tenda dan gerobak yang umum ditemukan di Yogyakarta, angkringan menyimpan banyak batin bagi pengunjungnya. Dalam puisi tersebut, Joko Pinurbo menjadikan angkringan sebagai tempat berpikir dan berintrospeksi.
Keunikan dalam berkarya ini membuat Joko Pinurbo mendapatkan penghargaan dan diakui di forum sastra nasional dan internasional. Pada 2001, dia memenangi Penghargaan Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta dan Sih Awards, sebuah penghargaan dari jurnal Puisi.
Kini, Joko Pinurbo telah meninggalkan kita. Namun, nafas dan pemikirannya masih hadir lewat karya sastranya yang diminati dan dibacakan di berbagai perkumpulan sastra.
Beberapa di antara karyanya antara lain "Celana" (1999), "Di Bawah Kibaran Sarung" (2001), "Telepon Genggam" (2003), "Tahilalat" (2012), "Haduh, Aku Di-Follow" (2013), "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi" (2016), dan "Bulu Matamu: Padang Ilalang" (2019).
Selamat jalan, Jokpin!
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR