Nationalgeographic.co.id - Philipus Joko Pinurbo melegenda sebagai sastrawan Indonesia era Reformasi. Dia lebih dikenal sebagai Jokpin. Sabtu, 27 April 2024 pagi, ia meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta pada usia 61 tahun.
Sastrawan itu lahir di Sukabumi pada 11 Maret 1962 kemudian berpindah ke Yogyakarta kala menginjak usia remaja. Sepanjang hidupnya, Joko Pinurbo menghasilkan berbagai karya yang diterima berbagai kalangan. Pelbagai cerpen dan puisinya telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris, Jerman, Rusia dan Mandari, serta pernah dimusikalisasi.
Joko Pinurbo memulai pengenalannya pada dunia sastra di Yogyakarta. Dia mengenyam kuliah Sastra Indonesia di IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas Sanata Dharma). Kehidupan muda pada 1970-an mempertemukan dirinya dengan berbagai sastrawan hebat di Yogyakarta.
Dalam wawancara dengan Hamzah Muhammad, salah satu karya yang dikagumi Joko Pinurbo adalah "Sajak Sikat Gigi" yang merupakan kumpulan puisi antara tahun 1973 dan 1978 karya Yudhistira ANM Massardi. Joko Pinurbo tertarik bagaimana puisi bisa ditulis dengan menyelipkan unsur anekdot, simbol, dan imaji yang semi surealis, tetapi logis.
Kepiawaiannya dalam bersastra saat muda dan pengaruh sastrawan senior di Yogyakarta membuat Joko Pinurbo terlibat dalam penulisan puisi. Pada 1987, puisinya dimuat dalam antologi puisi modern Indonesia Tonggak bersama 32 penyair lainnya.
Pengamat budaya Hikmat Darmawan dalam "Humor Serius Joko Pinurbo" menyoroti karakter menyeleneh pada puisi Joko Pinurbo. Dalam rangkaian puisi "Celana"nya, Joko Pinurbo menantang teori bahasa yang selama ini memisahkan bahasa sastra dan sehari-hari.
"Jokpin tidak segan-segan menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita," terang Hikmat. Kosa kata sehari-haru yang ia pakai bahkan bisa menggunakan bentuk tidak baku dan tidak tersedia di KBBI seperti "kok", "nampang", "sewot", dan "ngacir".
Ada pun puisinya yang menyeleneh yang paling terkenal bertajuk "Celana Ibu" (2004). Puisi itu mengisahkan pertemuan Maria yang bertemu kembali putranya, Yesus, setelah tiga hari dari penyalibannya. Berikut puisinya:
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas!" jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Puisi "Celana Ibu" adalah penghayatan Joko Pinurbo sebagai seorang pemeluk Katolik dalam menghayati peristiwa kebangkitan Yesus. Joko Pinurbo bermain kata "Paskah" secara "liar" untuk ditafsirkan. Puisi ini juga mengisahkan tentang sosok ibu yang masih memedulikan anak satu-satunya, walaupun sang anak telah wafat.
Joko Pinurbo juga menghayati dari berbagai hal di sekitarnya. Misalnya "Sepotong Hati di Angkringan" (2021) yang merupakan puisi berlatar tempat di angkringan.
Sebagai tempat makan sederhana dengan tenda dan gerobak yang umum ditemukan di Yogyakarta, angkringan menyimpan banyak batin bagi pengunjungnya. Dalam puisi tersebut, Joko Pinurbo menjadikan angkringan sebagai tempat berpikir dan berintrospeksi.
Keunikan dalam berkarya ini membuat Joko Pinurbo mendapatkan penghargaan dan diakui di forum sastra nasional dan internasional. Pada 2001, dia memenangi Penghargaan Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta dan Sih Awards, sebuah penghargaan dari jurnal Puisi.
Kini, Joko Pinurbo telah meninggalkan kita. Namun, nafas dan pemikirannya masih hadir lewat karya sastranya yang diminati dan dibacakan di berbagai perkumpulan sastra.
Beberapa di antara karyanya antara lain "Celana" (1999), "Di Bawah Kibaran Sarung" (2001), "Telepon Genggam" (2003), "Tahilalat" (2012), "Haduh, Aku Di-Follow" (2013), "Selamat Menunaikan Ibadah Puisi" (2016), dan "Bulu Matamu: Padang Ilalang" (2019).
Selamat jalan, Jokpin!
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR