Nationalgeographic.co.id—Belanda baru saja terbebas dari pengaruh Prancis pada Perang Napoleon (1803–1815) dengan bantuan sekutu-sekutunya: Prusia, Inggris, dan Rusia. Politik Belanda belum stabil, dan diperparah dengan proklamasi kemerdekaan Belgia pada 1830.
Bukannya mendukung Belanda, Inggris dan negara-negara lainnya diam-diam mengakui kemerdekaan Belgia dalam Konferensi London 1830.
Ahli sejarah Paul Hayes dalam Modern British Foreign Policy: The Nineteenth Century 1814-80 menjelaskan bahwa Inggris dan negara-negara lain punya alasan kuat. Inggris membutuhkan negara yang stabil secara politik dan ekonomi di dekat Prancis.
Di sisi lain, Inggris ingin melemahkan perekonomian Belanda yang merupakan adidaya ekonomi sebelum Perang Napoleon. Hal ini membuat hubungan Belanda dan Inggris alot.
Ditambah lagi, sebelumnya, Inggris menguasai beberapa koloni Belanda yang saat itu dikuasai Prancis, seperti Srilangka, Afrika Selatan, dan Hindia Belanda. Hanya segelintir koloni yang dikembalikan ke Belanda, salah satunya Hindia Belanda melalui Konvensi London 1816. Inggris bersikeras atas kekuasaannya di Srilangka dan Afrika Selatan.
Kealotan hubungan ini membuat Belanda menilai Inggris sebagai ancaman. Tidak hanya di negara induk, koloni Hindia Belanda harus bersiaga atas segala tindakan Inggris yang mungkin bisa saja menyerang dari Semenanjung Malaya.
Kekhawatiran Van den Bosch
Oleh karena itu, setelah Perang Jawa (1825–1830) dan Revolusi Belgia (1830), Raja Willem I mengangkat Johannes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830.
Van den Bosch punya reputasi yang baik untuk menjaga kedaulatan Belanda. Dia pernah menjabat sebagai Komisaris Jenderal di Hindia Barat (Suriname dan Curacao) selama 1827–1828. Selama penugasan, ia memperkenalkan konstitusi Belanda yang baru dan memperbaiki kondisi budak.
Ketika tiba di Jawa, dia segera memberlakukan Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Kebijakan ini adalah cara agar ekonomi koloni Hindia Belanda pulih setelah pengurasan biaya pada Perang Jawa. Negara induk di Belanda pun tidak mungkin memberikan biaya yang besar pada koloni, karena posisinya terjepit akibat Revolusi Belgia.
Hans Bonke, arkeolog dan sejarawan Belanda, dalam majalah Vitruvius mengungkapkan bahwa Van den Bosch mewanti-wanti Revolusi Belgia menjadi dalih Inggris untuk datang ke Jawa.
Sang Gubernur Jenderal pun menyiapkan tiga tempat di pesisir utara Jawa, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya, sebagai tempat yang memungkinkan armada Inggris berlabuh. Oleh karena itu, Van den Bosch mendirikan benteng pertahanan.
Muhammad Yusuf Efendi, Pengolah Data, Kelompok Kerja Warisan Budaya, dalam buletin Cagar Budaya menjelaskan, benteng-benteng yang dibuat Van den Bosch juga berada di kawasan pedalaman Jawa seperti Ambarawa (Benteng Willem I) dan Gombong (Benteng Van der Wijck).
Van den Bosch mengandalkan rancangan penguraian pertahanan milik Jonkheer Carel van der Wijck, perwira teknisi tempur yang mendapat penghargaan Ksatria Kelas IV dan III Militaire Willems-Orde.
Dari rencana Van der Wijck, benteng-benteng militer Hindia Belanda rencananya dibangun di Bandung, Ngawi, Gombong, dan Melirip. Alasan di kawasan pedalaman ini sebagai upaya mencegah gerakan serangan menjepit dari belakang oleh musuh.
Benteng-benteng Hindia di Jawa
Ada delapan benteng yang akan dibangun. Salah satunya yang paling terkenal adalah Benteng Van den Bosch (Benteng Pendem) di Ngawi yang berada di tepi Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Benteng juga dapat dimanfaatkan sebagai mobilisasi tentara dalam jumlah besar, sekaligus melindungi komoditas tanam paksa dan jalur transportasi.
Beberapa benteng sebenarnya sudah dibangun sejak 1818, seperti Benteng Van der Wijck. Yang lain baru dimulai sekitar 1834. Benteng-benteng ini dijadikan pembahasan tentang pertahanan Jawa oleh Van der Wijck ketika menemui Raja Willem I di Belanda. Pembahasan ini diterima ketika ia kembali ke Jawa pada 1837.
Sayangnya, karena minimnya tenaga ahli di tanah koloni, membuat Van der Wijck melakukan perekrutan dari kalangan kesatuan Zeni KNIL. Selain itu, beberapa tenaga ahli yang dikirimkan dari Belanda rupanya tidak bisa bekerja seperti biasanya. Kemungkinan, faktor lingkungan yang sangat berbeda antara di Jawa dan Belanda.
Dengan demikian, pembangunan setiap bidang dilakukan oleh kontraktor di bawah insinyur militer yang bertanggung jawab.
Proyek pembangunan benteng dimulai dengan pembebasan lahan dengan pemasangan patok. Mereka hanya bisa membangun di tanah milik pemerintah koloni. Setiap tahunnya, Pemerintah Hindia Belanda menyisihkan 60 ribu gulden untuk pembebasan lahan.
Kebanyakan dari tenaga kerja yang digunakan dalam pembangunan delapan benteng era Van den Bosch berasal dari pekerja paksa dan tahanan. Pekerja paksa ini adalah kuli yang merupakan buruh tani Jawa yang dikontrak selama 10 bulan, dan berasal dari desa sekitar lokasi pembangunan.
Benteng Van den Bosch punya kasus unik. Lahan itu berada di kawasan penduduk. Karena terdapat sungai yang menghubungkan Surakarta dan Surabaya, Pemerintah menggusur pemukim desa.
Pekerja untuk benteng di Ngawi ini disediakan oleh Residen Kediri, Jepara, Rembang, Madiun, dan Surakarta yang diminta Pemerintah Hindia Belanda. Para kuli ini tinggal di gubuk-gubuk semi-permanen di sekitar proyek pembangunan.
Hingga saat ini, kedelapan benteng tersebut masih berdiri gagah. Hal yang ditakutkan Van den Bosch akan invasi Inggris ke Jawa tidak kunjung muncul. Setelah berdiri, benteng ini kebanyakan digunakan sebagai basis operasi militer terhadap perlawanan yang muncul seantero Jawa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR