Nationalgeographic.co.id—Sekolah, tempat para remaja belajar secara formal adalah lingkungan yang penuh dengan penilaian identitas gender. Contohnya, Sahabat mungkin pernah mendengar ujaran-ujaran stereotip gender seperti ini:
"Kalau laki, jangan mengadu ke guru BK. Kita selesaikan secara 'jantan'", "Wajar dong, kamu kan perempuan. Biasanya lebih mengerti perasaan orang", atau "Yang boleh cerewet itu perempuan. Kalau pandai bersikap, laki-laki."
Stereotip gender seperti ini umum di sekolah. Tidak hanya keluar dari mulut sesama murid, namun oleh guru atau staf konseling yang menangani kesehatan mental murid.
Stereotip gender memandang anak perempuan dapat dihargai karena keterbukaan dan kedewasaan emosional mereka di sekolah. Stereotip ini didasari pandangan umum bahwa perempuan lebih dewasa secara emosional ketimbang anak laki-laki.
Sementara anak laki-laki, akan lebih dihargai jika menutup tekanan emosionalnya. Sikap mengekspresikan emosional dinilai tidak cocok untuk laki-laki.
Alih-alih mengekspresikan emosinya, mereka lebih "pantas" untuk diam atau berperilaku mengganggu seperti bermain di dalam kelas.
Sebuah penelitian dari University of Exeter mengeksplorasi bagaimana stereotip gender berdampak pada penyelesaian penanganan kesehatan mental di sekolah.
Penanganan berdasarkan stereotip ini membuat penanganan tidak setara, dan tidak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya.
Temuan ini diungkap dengan wawancara dengan 34 pelajar remaja. Di antaranya ada 17 pelajar di antaranya adalah perempuan, 12 pelajar pria, dan lima pelajar dari gender lainnya.
Selain siswa, peneliti juga mewawancarai 18 staf sekolah, termasuk kepala sekolah, konselor sekolah, dan guru kelas.
Dari hasil wawancara, kesadaran akan kebutuhan kesehatan mental anak laki-laki mungkin terlewatkan di sekolah. Hal ini disadari para murid dan guru. Hal ini membuat anak laki-laki sebagai kelompok yang "berisiko".
Mengabaikan Laki-laki, Menyepelekan Perempuan
Mayoritas pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini sepakat bahwa anak laki-laki dan perempuan mengalami kesehatan mental dengan cara yang berbeda.
Hal itu disebabkan stereotip bahwa perempuan lebih terbuka tentang emosi mereka, sedangkan laki-laki menutup-nutupi.
Salah seorang murid laki-laki yang diwawancarai ternyata lebih suka membicarakan kesehatan mental dengan kawannya, alih-alih dengan pihak yang menangani kesehatan sekolah.
Murid tersebut mengaku, berbicara kesehatan mental dengan rekan lebih mudah, ketimbang menyingkap emosi dengan cara ditekan.
"Ada persepsi bahwa anak perempuan lebih diuntungkan dibandingkan anak laki-laki dalam menerima dukungan kesehatan mental," terang Lauren Stentiford, penulis pertama penelitian dari School of Education at the University of Exeter.
Padahal, perempuan juga mengalami ketidakadilan dalam penanganan kesehatan mental di sekolah, terang para peneliti.
"Para murid dan anggota staf cenderung menempatkan anak perempuan di atas anak laki-laki dalam hierarki dukungan kesehatan mental karena persepsi keterbukaan emosional mereka," terang Stentiford di Eurekalert.
Anak perempuan dipandang lebih dewasa secara emosional dibandingkan anak laki-laki dan akan secara aktif mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya," urainya.
Pengungkapan ekspresi mereka bisa dengan menangis atau bahkan menyakiti diri sendiri. Konseling kesehatan mental mungkin bisa ditangani dengan baik, namun cenderung disepelekan karena dianggap terlalu mudah untuk diidentifikasi.
Kesenjangan ini penanganan konseling kesehatan mental ini membuat anak laki-laki diabaikan dan perempuan disepelekan, pada akhirnya membuat mereka "terjebak" dalam stereotip gender.
Pada akhirnya, stereotip gender ini tidak dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatan mental yang sejatinya dihadapi mereka.
Penelitian ini dipublikasikan berupa makalah bertajuk "Mental health and gender discourses in school: “Emotional” girls and boys “at risk”" di jurnal Educational Review, pada 9 April 2024.
“Penelitian ini menunjukkan adanya bentuk ketidaksetaraan gender yang baru dan sedang berkembang, yang bertentangan dengan konteks ‘krisis’ kesehatan mental yang dirasakan semakin meningkat di kalangan generasi muda," ujar Stentiford.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR