Nationalgeographic.co.id - Secara tradisi masyarakat Bali, alam harus dijaga dan dihormati. Itu sebabnya ada banyak pohon yang dibalut sarung bermotif kotak hitam dan putih yang disebut sebagai poleng. Ajaran memuliakan alam ini diajarkan oleh leluhur, kemudian dikukuhkan dengan agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali.
Sarung poleng yang dipasang pada pohon merupakan simbol dari Rwa Bhineda atau "dua yang berlawanan". Konsep ini mendasar dalam pemahaman kebudayaan Bali. Corak poleng sendiri merupakan keseimbangan alam semesta yang berlawanan seperti siang dan malam.
Tidak hanya sekadar simbolik, memuliakan alam juga diterapkan secara tata kelola. Tata kelola ini berdasarkan konsep falsafah Tri Hita Karana yang berarti "tiga penyebab terciptanya kebahagiaan". Konsep ini merajut harmoni dalam hubungan sesama manusia (pawongan), manusia dengan alam (palemahan), dan para dewata/Tuhan (parahyangan).
Nyoman Winyana dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hindu Indonesia mengutarakan bahwa manusia, dalam hubungannya dengan alam, mengharuskan untuk menghormati segala makhluk hidup. Hal ini merupakan bagian penting dari konservasi yang sebenarnya sudah diwariskan leluhur, namun sempat terlupakan.
"Dengan demikian, lingkungan hidup [menurut tradisi Hindu Bali] terdiri atas benda-benda yang ada di sekitar manusia. Manusia mempunyai sifat memanfaatkan lingkungan hidup sehingga dari fungsinya akan memunculkan dampak yaitu dampak baik dan dampak buruk," tulisnya dalam Harmony and Religi Bali Philosphy in the Tri of Hita Karana.
Pohon beringin yang dihormati di Bali
Salah satu yang dimuliakan adalah pohon beringin yang disakralkan. Saking sakralnya, pohon beringin tua punya arti penting dalam konsep spiritualitas Hindu Bali, sebagaimana yang diungkap I Kadek Merta Wijaya dalam makalah "Conception of Spatial Dualism around the Banyan Tree in Denpasar, Indonesia" tahun 2018.
Pohon beringin dianggap "menciptakan hubungan dualisme harmonis antara ruang sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata)". Pohon ini tidak hanya diselimuti poleng, melainkan juga dijadikan tempat sajen (banten) yang menandakan ruh yang terkandung dihormati.
Dengan pemberian poleng jadi sarana konservasi agar pohon beringin tidak boleh ditebang atau dimusnahkan. "Sehingga terdapat ruang (nyata) yang dimanfaatkan untuk kegiatan sosial dan ekonomi," jelas Kadek.
Karena termasuk jenis pohon yang tidak boleh ditebang dalam aturan masyarakat Bali, ada banyak beringin berusia ratusan tahun. Disebutkan bahwa pohon beringin, bagi masyarakat Hindu Bali, adalah tumbuhan surgawi.
Pohon beringin juga merupakan simbol kesucian dalam pelbagai acara keagamaan. Tuntunan menjaga dan pengelolaan pohon beringin sudah ada dalam Prasasti Tengkulak, membahas tentang kayu larangan pada 1023 M.
Baca Juga: Perbedaan Hindu Bali dan Hindu India yang Belum Banyak Orang Pahami
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR