Nationalgeographic.co.id—Musik lebih mudah sebagai sarana ekspresi isu kemasyarakatan yang dapat diterima banyak kalangan. "Musik adalah bahasa paling mudah dari dulu. Inilah saluran paling efektif dari komunikasi," terang Andi Achdian, sejarawan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional.
"Untuk memahami musik, cukup hadir. Untuk mendengarnya, penikmat musik tidak perlu menjadi literate untuk memahami makna simbolik," lanjutnya dalam bincang terbuka yang membahas musik sebagai ekspresi sosial. Bincang tersebut diadakan oleh Lokataru Foundation di Toko The Brandals, Pasar Santa, Jakarta Selatan pada Sabtu 27, April 2024.
Karena dapat dengan mudah diterima, banyak musisi menggunakan lagu sebagai ungkapan kegelisahan yang perlu dipahami pendengar. Dania Joedodarmo, musisi Tashoora mengatakan bahwa "musik menangkap fenomena sosial tertentu lewat kacamata individu musisi."
Meski sebuah lagu ditulis secara kolektif, pesan dari individu yang terlibat tetap bisa tersampaikan. Begitu pula pendapat Eka Annash, vokalis The Brandals di forum yang sama. Baginya, musik seperti karya seni lainnya. Dengan demikian "tugas seniman itu merepresentasikan keadaan sekitarnya."
Maka, peluang untuk membahas isu kemasyarakatan bisa dilakukan dengan musik. Eka melanjutkan, kapitalisme hari ini mendistraksi perhatian masyarakat dan musisi itu sendiri untuk mendiskusikan permasalahan utama yang dihadapi. Jebakan itu membawa musisi dan masyarakat terjebak dengan menjadikan musik sebagai hal "produksi dan konsumsi" belaka.
Musik Sebagai Sarana Berekspresi
Masyarakat tradisional di Indonesia sudah sejak lama mengenal kebudayaan bermusik sebagai sarana komunikasi. Dalam tulisan sebelumnya bertajuk "Media Komunikasi Tradisional Jawa-Bali: Instrumen Kentongan dan Bandhe", bunyi alat musik dapat menjadi tanda sebagai peringatan tertentu, seperti tanda waktu atau peringatan.
Lirik dalam lagu juga sudah menjadi alat penyampaian pesan sejak dulu kala. Beberapa ritual memiliki lagu yang memiliki lirik sebagai petuah yang hendak disampaikan. "Setiap tempat memiliki story. Story ini kemudian dimusikalisasi dengan cara tersendiri," terang Andi. "Lagu adalah mantra dengan irama yang terkait dengan gerakan sosial."
Memanfaatkan musik sebagai medium penyampaian politik mulai santer pada masa kependudukan Jepang. Andi menjelaskan bagaimana musik menjadi propaganda Jepang untuk menarik tenaga kerja romusha dari pelosok Indonesia.
Pemerintah masa Kependudukan Jepang tidak perlu repot-repot menyebarkan selebaran untuk menarik masyarakat, karena sebagian tidak memiliki kemampuan membaca. Oleh karena itu, musik menjadi sarana efektif untuk keterlibatan masyarakat.
Setelah merdeka, musik sebagai sarana berekspresi pernah dibatasi. Pada 1964, Sukarno melarang musik Barat yang dianggap klemak-klemik--seperti anjing menangis di malam hari.
Bagi pemerintah Orde Lama, musik Barat terlalu sendu dan melemahkan mental revolusioner Indonesia. Anda bisa membaca terkait sejarah ini dalam tulisan bertajuk "Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?" di National Geographic Indonesia.
Para budayawan masih mengungkapkan ekspresi dengan kebudayaan masyarakat, terutama kalangan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dari sinilah, dangdut yang berasal dari musik tradisional mulai berkembang sebagai musik akar rumput. Pada era Sukarno juga, semua partai menciptakan marsnya sebagai pengenalan kepada masyarakat.
Pada 1967, pemerintahan Indonesia berganti. Suharto yang menjadi presiden selanjutnya membuka lebar kebudayaan Barat yang masuk. Generasi muda bereksperimen dalam ekspresi musik.
Andi menyebut ada dua jenis musisi, yakni kalangan musisi yang masuk dalam patronasi pemerintah dan di luar patronasi. Demi bisa berkarya secara luas, kebanyakan musisi antara 1970 dan 1980-an mencoba mengikuti patronasi pemerintah.
Sementara, kalangan lain di luar patronasi bisa berkarya dengan cara menarik hati masyarakat. Misalnya, Iwan Fals dan Slank yang pada masanya mengangkat isu yang lebih dekat dengan masyarakat, sehingga mendulang popularitas. Hal ini pernah dibahas di artikel bertajuk "Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?"
Iwan Fals, lewat lagu-lagunya, mengkritik pemerintahan yang mulai retak dan memuaskan hasrat ketidakpuasan masyarakat. Pada periode 1990-an, Slank mengangkat isu kebebasan dan kesadaran akan diri sendiri.
Keduanya pun memiliki kelompok penggemar seperti OI (Orang Indonesia) dan Slankers. Para penggemar tidak hanya membahas lagu musisi idola, melainkan juga memahami makna dan memikirkan apa yang harus dilakukan. Karya Iwan Fals dan Slank pun masih relevan hingga kini.
Media Baru untuk Mengangkat Kembali Isu Kemasyarakatan
Eka terkesan bagaimana "Oke Gas" karya Richard Jersey dimanfaatkan sebagai kampanye politik oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024. Lagu ini awalnya tidak ditujukan sebagai kampanye.
Namun, popularitasnya membuat tim kampanye "membeli lagu tersebut dengan si DJ mengubah liriknya" yang mendukung Prabowo-Gibran. Lagu ini kemudian populer di TikTok dalam berbagai konten kampanye yang efektif untuk mendulang dukungan.
Delpedro Marhaen Direktur Eksekutif Lokataru Foundation berpendapat, penggunaan musik yang selama ini dapat memuat ekspresi kritik disadari pemerintah sebagai ancaman. Oleh karena itu, "pemerintah mencoba menanggapinya dengan menggunakan musik juga untuk menciptakan citra positif terkait situasi sosial dan politik saat ini," terangnya.
Oleh karena itu, gerakan aktivisme dan musisi tidak boleh abai memanfaatkan pesan komunikasi lewat musik. Andi dan Dania, cara pendekatan kultural bisa dilakukan oleh musisi dan pegiat aktivisme yang lebih intim, seperti kegiatan diskusi yang didampingi musik yang disukai masyarakat seperti dangdut.
Di media sosial, musisi juga harus terbuka membuka peluang yang ada. TikTok membuktikan bahwa musik digital bisa menjadi sarana penyampaian pesan, berkat algoritmanya.
"Tiktok membuktikan soal musik digital. Cuma yang jadi permasalahannya, mau enggak musisi memanfaatkannya untuk lebih dekat dengan penggemar dan membawa pesan lo?" kata Dania.
Eka menambahkan, masih ada kalangan di musisi sendiri yang masih alergi dengan TikTok. "Mestinya musik ke depannya bisa disebarkan dengan cara apa pun untuk membawa pesan krusial," tuturnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR