Nationalgeographic.co.id - Bila menilik dunia budaya pada beberapa dekade akhir abad ke-20, kita akan mengingat akan hippies, disko, rock n' roll, celana cutbray, rambut keriting, dan segala macamnya.
Sebelumnya, pada masa Sukarno, produk kebudayaan Barat dianggap produk kolonialisme dan imperalisme.
Pada 8 November 1964 misalnya, Sukarno menganggap lagu 'ngak ngik ngok' (mungkin ditujukan pada musik Love Me Do karya The Beatles) tak mencitrakan semangat gotong royong. Sehingga, polisi dan berbagai kelompok masyarakat merazia piringan hitam musik Barat, bahkan dihancurkan.
Baca Juga: Apa Salah Musik-Musik Barat Seperti The Beatles di Telinga Sukarno?
Saat Soeharto menjadi presiden, pintu budaya Barat kembali di buka. Akibatnya, banyak disko bergaya Barat bertebaran di mana-mana, termasuk Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin untuk membuka ladang investasi.
Budayawan David Tarigan, dilansir dari Vice Indonesia, mengatakan bahwa munculnya budaya populer di Indonesia dianggap keterbukaan dari yang sebelumnya dilarang.
"Jadi yang terjadi adalah shock ini kan. Jadi anak-anak muda [jadi] gondrong, tiba-tiba ngomongin drugs, film atau segala macam, walaupun dia enggak paham sebenarnya itu apa," ujarnya.
Virginia Matheson Hooker dari Australian National University dalam buku Indonesia Beyond Soeharto (2001), pada 1988 muncul pula beberapa jaringan televisi swasta di samping TVRI. Hiburan yang disajikan media menjadi bisnis besar dan memberikan pengaruh budaya populer ala Barat.
Baca Juga: Label Bimbingan Orang Tua: Keprihatinan Ibu pada Gaya Musik Rok
Tetapi bagi kalangan moralis, budaya populer seperti rok tidak mencerminkan Pancasila. Budaya--khususnya pada musik dan gaya berpakaian--menggambarkan budaya individualis, spontanitas, hingga berjiwa pemberontak.
Alasan mengapa budaya populer diterima masyarakat setelah dibukanya keran keterbukaan, Hooker menjelaskan, karena jumlah masyarakat yang berpendidikan tinggi masih sedikit, dan angka pengangguran yang tinggi.
"Maka dapat dimengerti betapa laku dalam budaya pemuda Indonesia tema-tema kefrustasian perihal misalnya kemunafikan elite, pencemaran lingkungan, dan tekanan untuk menyesuaikan diri secara seragam (conformism)," tulisnya.
Kondisi saat itu, baik Tarigan dan Hooker berpendapat banyak lagu-lagu yang disadur dari musik rok Barat. Saduran juga bisa berupa masalah sehari-hari atau percintaan, hingga kritik kebijakan Orde Baru.
Baca Juga: Nostalgia Lewat Musik Lawas, Penawar Psikologis di Masa Pagebluk
Kebiasaan menyadur lagu itu bisa dilihat oleh kreasi nyanyian Warkop DKI dalam film-filmnya. Grup Warkop DKI seperti Dono, Kasino, dan Indro, juga kerap menyentil pemerintah Orde Baru baik lewat film maupun siaran radio dalam celoteh mereka.
Bahkan Wakrop DKI sempat dilarang karena jumlah penontonnya mengalahkan film Pengkhianatan G 30 S PKI, ujar Indro dilansir dari Kompas.com
Perihal lagu, awalnya yang mendominasi awal 1970-an di Indonesia bernuansa mendayu-dayu dan terkesan cengeng yang dipelopori Koes Ploes, kata Tarigan. Tapi tiba-tiba banyak anak muda yang terpengaruh band Barat membuat lagu berbedam seperti progressive rock, dan disko.
"Dan ternyata, anak muda Indonesia sudah haus akan musik seperti itu, jadi laku. Begitu laku, jadi blueprint di era berikutnya," ujar Tarigan.
Keragaman ekspresi budaya populer anak muda masa Orde Baru sangat beragam dan luas. Pola ekspresinya berbeda-beda menurut selera, lokasi, kelas, penghasilan, pendidikan, dan sampai berapa dalamya seseorang tenggelam dalam arus budaya global, tulis Hooker.
Akibatnya, banyak anak-anak muda memunculkan slogan pada kaos oblong dan lirik musik rok.Kata-kata itu bernada ketidakpuasan atau menandakan sikap yang gila-gilaan.
Hal itu terbukti pada lagu "Surat Buat Wakil Rakyat" oleh Iwan Fals yang dirilis 1987. Penggalan lirik itu antara lain sebagai berikut:
Wakil rakyat seharusnya merakyat,
jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara,
hanya tahu nyanyian lagu 'setuju'
Akibatnya, album berjudul Wakil Rakyat ini meledak di pasaran menjelang pemilu karena liriknya yang merepresentasikan kondisi. Lagu-lagunya juga banyak yang mengkritik dan laku pada masanya seperti "Oemar Bakri", "Pesawat Tempur", dan "Bento".
Dari segi disko, ada Chrisye bersama Eros Djarot, dan Yockie Suryoprayogo lewat "Resesi" pada 1983. Eros, dilansir Jawa Pos berujar, bahwa lagu itu sebagai peringatan kepada pemerintah akan bahaya resesi di depan mata.
"Waktu itu arah ekonomi kerakyatan nggak jelas. Ada gejolak moneter yang demikian kuat. Resesi itu tinggal nunggu waktu untuk sampai ke Indonesia. Itu yang saya ceritakan ke teman-teman," kata Eros.
Namun, sayangnya pemerintah cenderung tidak menghiraukan, meski gejala resesi sudah kelihatan.
Baca Juga: Seabad Soeharto: Selain Kontroversinya, Ada Siasat Politik Cerdik
Selain itu pada 16 Agustus 1990 di kompleks kebudayaan Cikini, sekitar seribu anak muda berkumpul untuk memperingati hari kemerdekaan. Mereka mengadakan pentas musik, drama, dan puisi.
Dalam kegiatannya, mereka tak menyanjung kemajuan yang telah dicapai Indonesia pada Orde Baru. Melainkan, menampilkan kreasi gambaran kebobrokan sosial dan politiknya.
Menurut Rosslyn von der Borch lewat Art and Activism: Some Examples from Contemporary Central Java, kegiatan ini dilakukan di seluruh Indonesia oleh muda-mudi--salah satunya dilakukan oleh Wiji Thukul. Mereka menyampaikan ketidaksabarannya terhadap perubahan sosial besar.
Baca Juga: Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | jawapos.com,tirto.id,sumber lain,Vice |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR