Nationalgeographic.co.id—Otak manusia memahami bunyi alami sebagai suatu pertandam seperti Petir mengisyaratkan cuaca mendung atau sebentar lagi hujan turun, ayam berkokok menandakan hari mulai pagi, gelegar gunung menandakan akan adanya erupsi, dan masih banyak lagi.
Manusia pun berkembang dengan menciptakan bunyinya sendiri lewat lisan dan alat. Lisan menciptakan bahasa, dan alat pun menjadi sarana teknologi komunikasi yang punya makna. Itu sebabnya pada perkembangannya, manusia menciptakan musik dan lagu beserta pemahamannya tentang irama.
Kebudayaan Nusantara memiliki alat musik tradisional yang awalnya berkembang sebagai sarana komunikasi, seperti kentongan dan bandhe.
Kentongan sangat identik dengan penyampaian pesan oleh masyarakat tradisional, khususnya di Pulau Jawa. Alat ini dimainkan dengan cara dipukul, dan menghasilkan suara yang dikodifikasi oleh masyarakat setempat secara sesama.
Misal, satu kali pukulan dapat diartikan sebagai pengantar atau isyarat untuk selalu waspada, dan pukulan dua kali berarti adanya tindaka kejahatan, dan tiga kali pukulan ada kebakaran.
Bahannya terbuat dari ruas bambu yang ditoreh berlubang membuju panjang. Kentongan disebut juga sebagai "tungtung" oleh masyarakat Madura karena mengikuti bunyi yang dihasilkan. Sedangkan di Bali, kentongan disebut kulkul yang diletakkan di pojok dataran lebih tinggi pada pedesaan.
Menurut Jaap Kunst, etnomusikolog Belanda, kulkul dikenal oleh masyarakat Bali sejak masa Hindu dan pra-Hindu, dan merupakan sarana komunikasi ampuh yang masih dipakai hingga sekarang.
"Kulkul digantung di balai kulkul di sudut bale banjar, dan setiap banjar memiliki laras nada kulkul yang tidak sama," tulis Amir Rochkyatmo, budayawan dan penulis sastra di Jurnal Manuskrip Nusantara tahun 2010.
"Meski di satu desa terdapat beberapa banjar yang masing-masing memiliki laras nada kulkul yang berlainan, namun warga desa [...] bersangkutan dengan bijak dapat mengenal dan memahami nada suara kulkul di banjar masing-masing."
"Kulkul sebagai sarana komunikasi yang ampuh sekaligus pembawa amanat, memiliki beragam pukulan dengan makna masing-masing: berita kematian, perkawinan, panggilan warga berkumpul, panggilan kerja bakti/gotong royong," lanjutnya di makalah berjudul Kulkul, kenthongan dan bendhek: Sarana komunikasi tradisional yang mencitrakan kearifan lokal.
Keberadaan kentongan atau kulkul terekam dalam naskah Bharatayudha yang menyebut "[...] mulih welahnyacihna kukulan gantangnya munyanitir (dibuktikan oleh pukulan kentongan yang digantungkan, sehingga berbunyi tanpa hentinya." Dan juga dalam kidung Sudamala yang menyebut kulkul sebagai "suara bertubi-tubi".
Sementara masyarakat Sunda menyebut kulkul sebagai kohkol, berfungsi untuk mengumpulkan warga, kerja gotong royong atau kerja bakti, dan ronda, jelas Amir.
Mereka membagi dua jenis, kohkol berukuran besar terbuat dari kayu untuk digantung di langgar sebagai tanda waktunya salat, dan kohkol kecil terbuat dari bambu sebagai instrumen musik atau karawitan. Perkembangannya kohkol yang kecil sebagai instrumen musik pun berlanjut menjadi angklung.
Selain angklung, Kunst lewat buku Hindu Javanese musical instrument menulis, bahan-bahan bambu yang jadi instrumen pukul digunakan oleh masyarakat Sunda di pegunungan. Alat-alat itu antara lain celempung bambu, ketuk bambu, kendang bambu, gambang, calung, rengkong, dan hatong.
Gambaran di masa sekarang, selain diterapkan masyarakat Bali, sastrwan Soesilo Toer lewat buku Dunia Samin juga menggambarkan kegunaan kentongan. Salah satu adegannya bagaimana masyarakat Samin atau Sedulur Sikep membunyikan alat itu menandakan musuh atau kolonial Belanda datang ke kawasan mereka.
Namun, di Pulau Jawa, masyarakat Sunda bukan satu-satunya yang menggunakan kentongan sebagai instrumen musik. Masyarakat Banyumas terkenal dengan gamelan calungnya, dimana seni musik pukul itu terbuat dari bambu.
Baca Juga: Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis
Baca Juga: Sejarah Dangdut, Musik Nusantara yang Tak Pernah Dilekang Waktu
Baca Juga: Jaap Kunst, Pria Belanda yang Jatuh Cinta pada Musik Tradisi Nusantara
Baca Juga: Neuron di Otak Kita Merespon Nyanyian Musik dengan Cara yang Berbeda
Selain kentongan, ada pula instrumen lain sebagai alat komunikasi bunyi yang dipukul, bendhe. Bendhe adalah sejenis gong kecil yang ditabuhkan. Umumnya, gong digunakan dalam instrumen musik dan hingga saat ini digunakan sebagai tanda peresmian.
Berbeda dengan gong, bendhe lebih digunakan sebagai alat bunyi perang tradisional masyarakat Jawa, terang Kunst. Keberadaannya sempat digunakan sebagai instrumen musik, sebagaimana yang diapaparkan dalam relief seperti di Candi Sukuh dan Panataran.
Namun, dalam berbagai catatan seperti Serat Sastramuda, Babad Madura, dan Babad Basuki, digambarkan bendhe sebagai penanda aba-aba keberangkatan pasukan ke laga perang. Gambaran fungsinya untuk perperangan pun terjadi pada dunia pewayangan.
Amir menjelaskan, letak kesamaan bandhe dan kentongan terletak pada fungsi penyampaian informasi pada masyarakat. Bandhe dipukul terlebih dahulu dan dilanjutkan informasi lisan oleh informan.
"Pukulan bandhe dimaksud untuk memecah perhatian khalayak, agar minat perhatian mereka pindah tertuju ke arah suara Bandhe," ungkapnya.
"Pada saat itu pesan pun disampaikan. Isi amanat beragam: pengumuman, penerangan, wilayah, anjuran, ajakan beramai-ramai, bahkan lakon wayang wong dan ketoprak pun disebarluaskan secara lisan dengan Bandhe."
Instrumen bunyi seperti kentongan dan bandhe menjadi gambaran bagaimana lazimnya keinginan manusia untuk hidup dalam pengungkapan rasa lewat keindahan, simpul Amir. Keberadaannya yang masih lestari pada masyarakat tradisional di Jawa dan Bali, menjadi gambaran komunikasi dengan citra lokal.
Meski penggunaannya semakin terkikis, ia melanjutkan, kentongan dan bandhe menyimpan pengetahuan tentang masa lalu masyarakat Nusantara yang penuh dengan keindahan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR