Nationalgeographic.co.id—Perayaan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei ini tak hanya tentang perjuangan kaum pekerja, tetapi juga menjadi momen untuk mengenang luka masa lalu para buruh anak.
Artikel ini akan mengupas kisah pilu anak-anak kecil yang terpaksa bekerja keras demi kelangsungan hidup di tengah eksploitasi industri pada masa lampau.
Di balik gemerlapnya industri dan kemajuan ekonomi, tersembunyi cerita kelam tentang anak-anak yang kehilangan masa kecilnya.
Tangan-tangan kecil mereka yang seharusnya menggenggam permen dan es krim, justru harus terikat dalam belenggu pekerjaan kasar dan berbahaya.
Artikel ini akan membawa Anda menyelami kisah pilu para buruh anak di berbagai sektor industri, mulai dari pabrik cerutu, pabrik tempat tidur, hingga tambang batubara.
Kepiluan Buruh Anak dari dalam Rekaman Lensa Lewis Hine
Sejarah dunia mengenangkan perjalanan kisah buruh-buruh cilik yang menyimpan kisah pilu saat harus bekerja menopang kebutuhan keluarga mereka.
"Anak-anak, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, bekerja dengan upah yang lebih sedikit," tulis Aimee Heidelberg kepada History Collection dalam artikelnya berjudul Sickening Images of Historic Child Labor Conditions, terbitan 29 November 2023.
Seorang jurnalis dan fotografer bernama Lewis Hine merekam fenomena bersejarah. Jepretannya tentang kepiluan anak-anak miskin itu terabadikan dalam lensa kameranya, terkenang dalam ingatan dunia.
Dalam catatannya, digambarkan buruh anak laki-laki berusia delapan dan anak perempuan berusia sepuluh, bekerja di antara orang dewasa yang mengupas daun tembakau untuk produksi cerutu. Ruang kerja mereka penuh sesak dan kotor di toko cerutu F. Delloiacono.
Ruangannya sempit. Lebar meja kerjanya menyisakan cukup ruang untuk mengatur kursi jika tidak diletakkan terlalu jauh dari meja. Cerutu dan dedaunan menumpuk tinggi di rak di sepanjang dinding atas dan langkan di bagian atas lis dinding.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Potret Anak di Bawah Umur Kerja Kasar Demi Keluarga
Hine juga memotret berbagai pekerjaan di pabrik, mulai dari penggilingan hingga produksi banjir. Dia menemukan anak-anak ini sedang menghubungkan per tempat tidur, sebuah inovasi kenyamanan kasur yang dipatenkan pada tahun 1969.
Buruh-buru cilik bekerja di bagian dalam sebuah pabrik di Boston pada tahun 1917. Meskipun catatannya biasanya sangat teliti, keterangan Hine tidak memiliki jumlah catatan rinci yang dimiliki entri lainnya.
Anak-anak ini menghubungkan per kawat dan menariknya ke rangka tempat tidur. Mereka bekerja dengan pegas kawat tajam dengan peralatan halus dan tanpa pelindung tangan. Sebuah ironi harus mempertaruhkan keselamatan kerja anak di bawah umur kala itu.
Dalam perjalanan Hine yang lain, ia menyambangi perusahaan menambang batubara antrasit, batubara metamorf yang hampir mengandung karbon murni. Buruh-buruh cilik yang bekerja di sana disebut juga dengan “Breaker Boys.”
Tugas mereka adalah menghilangkan kotoran (batu tulis dan bahan lain yang tidak diinginkan) dari batubara sebelum mengirimkannya ke tujuan berikutnya. Anak-anak laki-laki yang dipekerjakan itu duduk di ruang terbatas ini selama berjam-jam.
"Mereka memunguti batu bara yang meluncur di atas ban berjalan dari alat pemecah batu," sambung Aimee Heidelberg.
Hine melaporkan juga dalam catatan perjalanannya itu bahwa debu yang dihasilkan dari batubara terkadang sangat tebal hingga mengaburkan pandangan anak-anak itu. Dikhawatirkan debu itu bisa menembus hingga ke dalam paru-paru anak.
Terdapat seorang pengawas yang disebut sebagai "supir budak" yang bertugas untuk berdiri di depan para buruh cilik. Ironinya, tugas mereka mendorong anak-anak itu dengan tongkat atau menendang mereka agar patuh dan terus bekerja.
Ada pula kisah pilu seorang anak bernama Frank Wiegel. Ia bekerja dalam shift panjang di pabrik Henry Bosch Paper Company, produsen buku contoh wallpaper. Pada pukul 1:55 pagi, dia tertidur akibat kelelahan.
Ironinya, dalam kondisi lelah dan tidak sadar itu, dia masih dalam kondisi bekerja. Tidak sengaja tangannya menekan pedal kontrol untuk menghidupkan mesin di dekatnya. Alhasil, tangannya hancur di dalam mesin.
Baca Juga: Hiburan Rakyat dan Sisi Gelap Tari Ronggeng dalam Sejarah Subang
Akibat kejadian itu, perusahaan terkait mendapat tuntutan hukum yang berlangsung selama dua tahun. Wiegel dianugerahi $5.000 untuk masing-masing dua jari yang hilang dalam kecelakaan itu. Ia mendapat ganti rugi senilai $10.000 untuk kecacatannya.
Pada saat Komite Perlindungan Anak dibentuk pada tahun 1904, buruh-buruh cilik atau para pekerja anak ini disebut sebagai aktivitas perbudakan anak. Komite itu berusaha memberikan impact yang luas di Amerika Serikat.
Protes buruh dan undang-undang membatasi masalah ini. Anak-anak diminta untuk berhenti dipekerjakan pada pabrik-pabrik dan lini industri kerja kasar. Meskipun, ini tidak sepenuhnya mengakhiri penggunaan pekerja anak di negara tersebut.
Pekerja anak dalam kondisi berbahaya masih ada. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan terdapat 73 juta anak di bawah usia sepuluh tahun yang bekerja sebagai buruh di seluruh dunia.
Gerakan pekerja anak modern masih aktif, namun harus dilakukan dengan hati-hati untuk melindungi privasi pekerja, dan karena, seperti yang dialami Hine, perusahaan tidak mau mengizinkan pembuat dokumenter mengakses karyawannya.
Hari ini, kondisi pekerja anak ini diekspos melalui teknologi modern. Misalnya, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mendorong pekerja anak di Myanmar untuk mengambil foto dokumenter tentang kondisi kerja mereka.
Source | : | History Collection |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR